Sebut saja namanya Sayla. Sejak Senin-Rabu kemarin (18-20/7), Ibu dan ayahnya mengantar Sayla masuk di Hari Pertama Sekolah. Lokasinya di sekitar kawasan hunian masyarakat urban, kota Malang. Sejak saat itu, ia resmi menjadi siswi TK Kelompok A. “Hore... Aku sekarang jadi kakak TK”. Ocehnya, saat kami mengantarkannya masuk sekolah.
Sebagai aset bangsa, anak-anak hari ini menjadi penentu nasib masa depan negeri. Oleh karena itu, anak-anak hari ini patut memiliki cita-cita besar. Melalui pendidikan yang baik, diyakini anak-anak mampu melukis wajah ceria negerinya. Lantas, apa saja yang patut dilakukan di Hari Pertama Sekolah? Berikut pengalaman dan refleksi kami saat mengantarkan Sayla di hari-hari pertama masuk sekolah.
Aksi-aksi Penting di Hari Pertama Masuk Sekolah
Kesan awalnya biasa-biasa saja. Di hari-hari pertama masuk sekolah, belum ada pelajaran. Warga belajar masih berusaha saling mengenal lingkungan sekolah. Guru menyambut anak-anak di pintu gerbang. Sejak saat inilah, guru mulai mengenali karakter anak. Sesama orang tua saling berkenalan. Sambil melihat-lihat fasilitas belajar, kami perhatikan status sekolah yang terakreditasi “A”.
Ibu Sayla sempat bertanya kepada guru, sehingga ia kenal nomor HP Wali Kelasnya. Ayah Sayla sharing dengan salah satu orang tua murid tentang bagaimana agar anaknya bisa masuk sekolah tepat waktu. Tindakan-tindakan tersebut terkesan biasa saja. Padahal, jika dijadikan sebagai aksi bersama, Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah" berpotensi melahirkan aksi-aksi kreatif untuk kemajuan pendidikan.
Kala itu, pukul 06.30-an Wib Sayla sudah tiba di sekolah. Anak berseragam baru itu hadir paling awal. Suasana sekolah masih sepi. Sejurus kemudian, anak-anak lainnya hadir diantarkan oleh orang tuanya masing-masing. Jam masuk sekolah memang baru dimulai pukul 07.00 wib-09.00 wib untuk Kelompok A. Sementara untuk Kelompok B dimulai pukul 08.00 wib-10.00 wib. Sejak di Play Group, Sayla sudah terbiasa datang lebih awal. Dia gelisah jika tidak segera berangkat sekolah, meski belum tahu pukul berapa berangkatnya.
Tiba di sekolah, guru barunya sudah berdiri di pintu gerbang. Guru melempar senyum, sapa, dan salam. Sayla terlihat malu-malu bersua dengan guru barunya. Usai bersalaman, Sayla segera pergi mencari rak untuk menaruh tas dan sepatunya. Kebiasan mandiri itu telah ia dapatkan sejak semasa di Play Group. Sayang, waktu main plorotan di hari pertama masuk TK, dia ngompol. Kwek Kwek…
Apa yang dapat dilakukan oleh para guru? Bukankah selama 5-6 hari dalam seminggu, anak-anak berada di sekolah? Bertahun-tahun, anak-anak membelanjakan waktunya untuk belajar di sekolah. Sepertiga harinya mereka berada di sekolah. Bagi anak-anak TK, setidaknya selama 2-3 jam sehari berada di sekolah. Tapi, sebagian anak-anak yang lain bisa lebih lama lagi. Karena Ayah ibunya sama-sama bekerja, anak-anak dititipkan di Tempat Penitipan Anak (TPA). Apalagi TPA itu juga berada di sekolah, praktis sekolah seperti menjadi rumah kedua bagi anak-anak.
Untuk itulah, diharapkan para pelaku pendidikan gayung bersambut membantu anak-anak melukis cita-citanya. Ya. Hakekat pendidikan adalah membantu anak-anak melukis masa depannya. Melukiskannya di rumah kedua yang nyaman untuk anak-anak. Dalam konteks ini, mengantarkan anak ke sekolah, adalah peluang membangun persepsi, komunikasi, dan interaksi sinergis antara sekolah dengan orang tua dan masyarakat sekitarnya (Tri Pusat Pendidikan).
Bagi orang tua, mengantarkan anak ke sekolah diharapkan dapat mengenal visi-misi sekolah. Juga mengenal para guru, wali kelas, kepala sekolah, dan sesama orang tua. Setidaknya, dengan mengantarkan anak ke sekolah, orang tua mengenal fasilitas belajar. Lebih jauh, orang tua dapat memberikan ide-ide kreatif dan jalan keluar untuk kemajuan sekolah.
Bagi guru, di hari-hari pertama masuk sekolah berkesempatan mengenali karakter anak. Seperti terjadi pada anak kami di hari pertama sekolah yang kebetulan “ngompol” kala itu. Rupanya, si anak berusaha menahan pipis saat bermain plorotan, karena dia belum berani bicara langsung kepada guru barunya. Bersyukur, setelah kami bertemu gurunya dan mengatakan karakter anak, di hari-hari berikutnya dia sudah tidak “ngompol” lagi. Anak itu merasa nyaman berada di sekolah.