Tak kusangka, siang itu (26/05) seorang kompasianer senior asal Surabaya bersama seorang pegiat Wakaf Plannermengunjungi kompasianer Malang (Bolang). Mereka berkunjung atas nama personal, karena pertemanan sesama kompasianer. Mengawali kunjungannya, mereka tiba di rumah kami sekitar pukul 10.25 Wib. Kami ngobrol santai seputar aktivitas komunitas Kompasiana dan “Wakaf Produktif”. Wakaf sejenis ini begitu berkembang di Singapura.
Di Indoensia, produk wakaf ini dilindungi oleh regulasi yang sah. Saya baru tahu, kalau produk wakaf uang ini segera dilaunching di Jakarta. Obrolan menarik berlanjut hingga di Warung Angkringan, sambil makan siang bersama. Warung itu berada di dekat rumah kami, di Jalan Sigura Gura, Kota Malang.
Usai makan siang, kami bertiga menuju sebuah gubuk di tengah sawah. Shalat dhuhur kami tunaikan di tengah perjalanan. Tiba di gubuk sekitar pukul 14.45 wib, dijemput oleh petani jagung manis yang juga seorang kompasianer. Lokasi gubuk berada di Dusun Wangkal, Desa Wargosuko, Kec. Poncokusumo. Kawasan ini berdekatan dengan perbatasan kec. Tumpang, Kabupaten Malang. Gubuk itu, seolah sudah menjadi rumah kedua bagi petani ini, selain rumah tinggal tetapnya yang berada di kawasan Perumahan Araya, kota Malang.
Di gubuk kecil berukuran sekitar 3 x 3 meter inilah, sang petani tinggal selama menggarap sawah. Tepat di depan gubuk, terhampar lanskap tanaman jagung manis di sawah seluas 1 ha miliknya. Untuk sampai di sana, kami harus melewati pematang sawah. Di sampingnya mengalir air alami dari sungai kecil untuk irigasi. Sejauh mata memandang, tampak tanaman jagung yang mempesona. Rumput gajah yang menghijau dan segar di tepi pematang, menambah sedap lanskap persawahan tanaman jagung. Indah. “Aku jatuh cinta di tengah sawah ini”, demikian ungkap sang petani yang juga seorang kompasianer yang satu ini.
Dialah Rahman Priyono, asal Sumatera yang sudah bermukim lama di Malang. Ia bergabung dengan komunitas Kompasiana Malang (Bolang) sejak dua tahun lalu (sekitar 2014). Selepas berkeliling dari Korea Selatan, Jerman, dan beberapa negara lainnya karena alasan kerja, belakangan ini dia mulai menekuni dunia pertanian jagung. Bisnis jasa transportasi di Malang dan dan perkebunan sawit di luar Jawa miliknya, ia serahkan pada orang lain untuk mengurusinya. Sementara itu, ia menikmati profesi barunya sebagai petani jagung manis unggul jenis Hibrida F1 “Talenta”.
Kompasianer Bertani Jagung
Menurut Mas Rahman, tiap hari usai shalat shubuh hingga sore hari, ia pergi ke sawah. Seluruh kegiatan bertani ia kerjakan sendiri, tidak menggunakan tenaga kerja atau buruh tani. Ia merasakan bagaimana indahnya menyemprot rumput, memupuk tanaman, menyulami tanaman jagung yang mati, dan seterusnya. Kecuali saat membuat galur dan menanam benih jagung, Ia menggunakan sejumlah tenaga kerja atau buruh tani lainnya. Di gubuknya, ia dibantu oleh seseorang, yang diajak serta menemaninya bekerja.
Wow… asyik, bukan? Menurut penuturan Mas Rahman, seharian ia berada di gubuk dan sawah. Memasak, mencuci, tidur, dan makan dilakukan di sana. Sekitar pukul 10.00 Wib, dia bisa melakukan shalat dhuha, kemudian istirahat hingga siang hari di gubuknya. Dia pun bisa menggunakan HP dan jenis gadget lainnya. Secara periodik, progress report tanamannya ia upload lewat samrtphone ke media sosial. Jika musim libur sekolah, bersama keluarga dan kedua anaknya sering bermalam di sini. Hehe… asyik, bukan?
Indahnya Bertani Jagung Manis
Jagung manis super jenis Hibrida F1 milik Mas Rahman, ditanam di areal sawah seluas 1 ha miliknya. Tujuannya dijual untuk dikonsumsi selagi muda. Waktu yang dibutuhkan untuk menanam bibit jagung hingga siap panen berkisar antara 75-80 hari.
Tiap satu bulir benih jagung manis yang ditanam, tumbuh sebatang batang jagung. Tiap batang hanya mengasilkan satu buah (tongkol) jagung. Sesuai standar, tiap tongkol jagung dapat menghasilkan 465 bulir jagung. Berdasarkan pengalaman Mas Rahman, sawah seluas 1 ha ini diprediksi menghasilkan jagung sebanyak 12 ton. Jika dioptimalkan menggunakan pupuk tambahan, bisa mencapai maksimal 18 ton.