[caption caption="Logo Planet Kenthir/Sumber dan pemilik logo: Komunitas Planet Kenthir"][/caption]Saya punya kawan, keren banget. Namanya Kesol. Ah yang benar aja. Suer, ini bukan fiksi. Dia punya nama asli Solihin, tapi akrab dipanggil Kesol. Entah mengapa, para tetangga dan teman-teman sepermainannya, tak terkecuali saya, ikut memanggilnya demikian. Ini sama sekali jauh dari maksud melecehkan. Para tetangga memang memanggilnya “Kesol” hingga saat ini.
Saya menduga, panggilan semacam itu dipengaruhi oleh lidah sebagian orang-orang Jawa di perdesaan, yang tak biasa mengucapkan bahasa Arab dengan fasih. Seperti “alfaatihah” terkadang diucapkan “alpatekah”, atau Abdul Ghafur diucapkan Dul Gopur. Apalagi ya, hehe… pasti masih banyak lagi. Serapan bahasa asing yang disesuaikan dengan lidah lokal. Unik.
Mungkin karena alasan itulah, nama Solihin dipanggil Kesol. Kok jauh banget ya… entahlah. Mungkin awalnya berasal dari panggilan Sol, berubah menjadi Kesol. Bisa jadi begitu, atau mungkin juga ia hanya sebuah nama “wadanan” (nama alias). Ada lagi loh, kawan sekolah saya yang cantik banget, dipanggil “bawon”, nama wadanannya, hehe :)
Padahal, kata Solihin (bahasa Arab) merupakan jamak mudzakkar saalim dari kata shaalih yang berarti orang baik. Shaalihin (ditulis Solihin) seperti nama kawan saya itu, artinya orang-orang shalih, yang berarti dia diharapkan termasuk kelompok dari orang-orang yang baik (shaalih-shaalihiina, shaalihuuna). Kok berubah jadi Kesol ya… mesem lagi... :)
*******
Alkisah, sewaktu kecil saya dan kawan-kawan tiap sore mengaji di sebuah mushalla dekat rumah kami. Termasuk si Solihin, kawan saya itu. Penduduk sekitar menyebut mushalla itu dengan sebutan “langgar”. Tapi jangan diplesetkan ya… “shalat boleh di “langgar…” hehe...). (Maaf, bukan pakai kata kerja pasif “dilanggar”, tapi kata penunjuk di “langgar”, yang berarti di mushalla).
Langgar kecil tak jauh dari rumah kami itu, memiliki halaman luas. Di kiri kanan banyak tanaman buah-buahan, seperti mangga, klampok (jambu air), kedondong, dan lain sebaginya. Plangg…. Bruuukk! sekali lemparan si Kesol dengan sebilah kayu, buah-buah mangga itu berguguran. Hihi… maklum "anak Langgaran", saat kelaparan di malam hari, kadangkala ngelemparin buahan-buahan milik ustadz/kyainya sendiri itu… kwiek kweik…
Konon, "anak-anak langgaran" punya pameo: “in ulima ridhauhu”. Artinya, jika sang pemiliknya (kyainya) itu mengetahuinya, toh pada akhirnya ia akan merelakannya. Hadeeuh… Ya udah, waktu itu, saya juga ikut memakannya juga, kwek kwek.
Langgar itu, dilengkapi juga dengan sumur galian. Sumur itu terbuka, berada di luar ruang mushalla. Letaknya bersebelahan dengan tempat wudlu’ dan “jeding”. Untuk mengambil air dari sumur itu, kami menggunakan “senggot”. Tak ada jet pump seperti sekarang. Waktu itu, listrik aja belum masuk desa, mana bisa diberi pompa air modern, hehe… lampunya pun masih pakai lampu petromak, berbahan bakar minyak tanah. Walhasil, untuk bisa mengambil air di sumur itu, ya pakai senggot. Kangen.
Senggot adalah alat menimba air secara tradisional. Alat itu terbuat dari sebatang bambu, panjangnya kira-kira 5 meter. Ujung yang satu diberi tali yang dikaitkan dengan sebuah ember. Sementara ujung lainnya diberi pemberat yang diikat dengan tali. Ujung bambu yang ada embernya diletakkan tepat beberapa meter di atas mulut sumur. Bambu itu diletakkan di ketinggian, di tengah-tengahnya disangga oleh sebuah tiang yang berfungsi sebagai titik poros, seperti gambar di bawah ini. Senggot itu bisa dinaikturunkan, seperti sebuah mainan ayunan.
[caption caption="Ilustrasi/Senggot, Alat Menimba Tradisional/Foto: www.dewisoran.com/Link: http://www.satuharapan.com/read-detail/read/senggot-alat-timba-tradisional"]
[/caption]