Ilustrasi/Nusron Wahid, Kepala BNP2TKI (YouTube.com)
Saat ini, Undang Undang No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) sedang dalam proses revisi oleh DPR dan menjadi prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Tugas yang berkaitan dengan permasalahan penempatan dan perlindungan buruh migran, alias TKI itu diemban oleh lembaga yang bernama Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), yang saat ini dipimpin oleh Nusron Wahid. Saya mencoba memahami kegelisahan Mas Figo Kurniawan di Kuala Lumpur terhadap PPTKILN yang dinilainya kurang memihak kepada buruh urban. Dia curhat melalui tulisannya di Kompasiana dengan judul “BNP2TKI bukan Badan Mediasi, bukan Badan Purna TKI… Bubarkan..!!! (14/6/2015). Kiranya, mari kita pahami dahulu duduk perkaranya, baru kemudian kita tunjukkan pilihan solusinya.
Memposisikan buruh urban di luar negeri cukup dilematis. Di satu sisi, ia diposisikan sebagai penyumbang devisa yang cukup besar, tetapi di sisi lain berkaitan dengan “harga diri” bangsa di dunia internasional. Para TKI sering dijuluki sebagai “Pahlawan Devisa”. Faktanya, mereka menyumbang triliunan rupiah per tahun. Nusron Wahid dalam “Apa Kata Mereka” (magni7.kompas.com) menyebutkan, ada 2,7 juta buruh migran yang bekerja di kawasan Timur Tengah dan Asia-Pasifik. Dari jumlah itu, sebagian besar adalah perempuan yang bekerja sebagai penata laksana rumah tangga. TKI mengirimkan uang yang terus meningkat setiap tahun. Tercatat sebesar Rp 67 triliun (2012), meningkat menjadi Rp 90 triliun (2013), dan mencapai Rp 97 triliun (2014). Di awal 2015 saja, dana segar yang mereka kirim sudah mencapai Rp 7 triliun. Artinya, secara ekonomi kontribusi TKI besar. Apalagi pada saat rupiah lagi menangis seperti belakangan ini, karena nilai tukarnya terhadap dollar AS semakin melemah hingga menyentuh level terendah sejak krisis 1998, yaitu mendekati angka Rp 13.400 pada 8 Juni 2015.
Namun di sisi lainnya, kehormatan diri sebagai bangsa dipertaruhkan. Sekedar contoh, TKI kita di Malaysia dipersamakan dengan mesin pembersih lantai “floor cleaner” (CNN Indonesia, 04/02/2015). Kasus itu muncul ketika sebuah perusahaan distributor robot pembersih di Malaysia mengiklankan produknya dengan tulisan: “Fire Your Indonesian Maid NOW”, yang artinya “Ganti dengan ini, Pembantu Indonesia SEKARANG” (lihat). KBRI kemudian melayangkan protes (sumber), sungguh miris (video). Seperti ini iklan produk robot pembersih yang terpasang di standing banner di jalanan Kuala Lumpur, Malaysia.
Ilustrasi/Iklan Mesin Pembersih RoboVac Malaysia (sumber: www.rri.co.id)
Masalahnya, kenapa RoboVac spesifik menyebut pembantu asal Indonesia? Padahal di sana juga ada pekerja asal Filipina, Sri Lanka, India, dls?. Produk itu tidak bermasalah, namun iklannya dianggap mengandung unsur rasialis yang merendahkan martabat bangsa Indonesia. Belum lagi kasus penganiayaan, kekerasan seksual, dan hukuman pancung yang kerap kali memicu tensi emosi. Ingat video buruh Prista Apria Risty seorang TKW asal Bandar Lampung yang bekerja di Hongkong yang lucu dan menghebokan media sosial beberapa bulan lalu? Dia curhat dengan caranya yang unik dengan suaminya di tanah air melalui media sosial.
Di balik trilunan rupiah yang mereka kirimkan, ternyata menyisakan rasa pilu yang mendalam. Kasus di atas sudah cukup untuk menunjukkan kehormatan diri sebagai TKI dipertaruhkan. Menghadapi kenyataan semacam itu, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Luar Negeri, KBRI, dan khususnya BNP2TKI sering dibuat kerepotan. Namun ketika BNP2TKI menyelesaikan masalah TKI, lembaga itu dinilai hanya sekedar memidiasi, tidak sampai tuntas menyelesaikan masalah.
“Salah satu tugas BNP2TKI menurut UU No.39 Tahun 2004 tentang PPTKILN sebagaimana disebutkan dalam pasal 95 ayat (2) huruf (b) angka (3) adalah memberikan pelayanan, mengkoordinasikan dan melakukan pengawasan mengenai ‘penyelesaikan masalah’ , akan tetapi dalam perjalanannya BNP2TKI lebih berperan sebagai Badan Mediasi, tanpa berhasil menyelesaikan masalah. Mediasi memang perlu dilakukan sebagai proses awal dalam rangka mencari penyelesaikan ‘suatu masalah’ tetapi jika proses mediasi itu hanya sekedar 'mediasi' tanpa mau berupaya secara maksimal untuk menyelesaikan suatu masalah maka peran BNP2TKI bisa dikatakan hampir ‘tidak ada’, bahkan kehadiran BNP2TKI menjadi ‘tidak berguna’ (Figo Kurniawan, Kompasiana,14/6/2015).
Untuk meyakinkan hal itu, ditunjukkan satu contoh kasus 203 TKI yang belum dibayar gajinya pada 2012 silam yang sampai kini mungkin belum terselesaikan. Ironis memang, karena itu izinkan saya ikut berempati pada mereka. Jadi, kritik pertama tertuju pada kejelasan fungsi BNP2TKI. Badan itu hanya sebatas memediasi, padahal seharusnya sesuai pasal 95 ayat 1 UU 39/2004, BNP2TKI melaksanakan fungsi penempatan dan perlindungan TKI. So, mau ke mana lagi mereka minta perlindungan? Karena itu, Mas Kurniawan secara vulgar mengatakan: “jika BNP2TKI ingin mengubah namanya dengan cara beralih fungsi… BUBARKAN…!!
Bila disederhanakan, mungkin kritiknya menjadi begini: “Pengiriman TKI ke luar negeri jangan distop, mereka bekerja mencari nafkah, karena di dalam negeri sulit mencari pekerjaan yang layak secara ekonomi. Kepergian mereka demi dirinya, keluarganya di rumah, dan bangsa Indonesia sendiri. Jika mereka mengalami masalah, di sinilah mestinya BNP2TKI ambil peran, tidak saja sebagai mediator, tetapi melindungi TKI sejak awal penempatan, apalagi kebanyakan mereka adalah buruh migran perempuan. Ini pokok masalah pertama.
Pokok masalah kedua, adalah kenapa BNP2TKI justru lebih memprioritaskan program pemberdayaan untuk purna TKI, yaitu TKI yang sudah kembali ke tanah air. Padahal, BNP2TKI mestinya merujuk pada fungsi pokoknya itu, ialah mengoptimalkan penempatan dan perlindungan. Hemat saya, perlu dicermati kembali kasus-kasus yang menyinggung harga diri TKI di atas. TKI adalah “aset” bangsa, bukan “keset” bangsa lain. Oleh karena itu, setidaknya ada tiga pilihan utama bagi BNP2KI ke depan, yaitu:
Pertama, Pendekatan input. BNP2TKI diprioritaskan untuk memperbaiki TKI yang akan "ditempatkan" di luar negeri dan "melindungi" mereka yang bermasalah. Berarti BNP2TKI tetap menjalankan fungsinya seperti sebelumnya, hanya butuh penguatan. Mungkin 25-30% untuk penempatan, dan 65-70% untuk perlindungan.
Kedua, Pendekatan output, BNP2TKI diprioritaskan untuk memperbaiki purna TKI yang kembali ke tanah air. Konsekwensinya, anggaran BNP2TKI difokuskan untuk itu, sehingga mereka mampu mengelola rupiah yang telah dikumpulkan selama ini untuk kegiatan yang lebih produktif. Asumsinya, pasar ASEAN itu sesungguhnya ada di dalam negeri. Oleh karena itu, purna TKI perlu mendapatkan pelatihan, modal tambahan, dan akses pekerjaan domestik yang menguntungkan di negeri sendiri. Jika pendekatan ini yang dipilih, maka konsekwensinya pengiriman TKI ke luar negeri dihentikan atau ditunda.
Ketiga, Pendekatan selektif. BNP2TKI mengirim TKI secara selektif dan meningkatkan mutu calon TKI yang hendak dikirim. BPN2TKI hanya akan menempatkan TKI pada jenis-jenis pekerjaan tertentu yang membutuhkan skill, seperti perawat, dokter, tenaga pengajar, teknisi komputer, dsb. Asumsinya, tenaga kerja terdidik lebih mampu mengurus dirinya, sehingga perlindungan kepada TKI dianggap bukan menjadi masalah utama. Sementara itu, terhadap TKI yang memiliki daya saing rendah, diberdayakan agar mereka mampu mengakses pekerjaan domestik dan peluang pasar dalam negeri sendiri.
Pemerintah tampaknya bertekad untuk menunjukkan perubahan besar di bidang ketenagakerjaan, dengan menunjukkan diri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, baik secara politik, ekonomi, dan budaya. Untuk itu, pemerintah mesti memilih prioritas di antara beberapa pilihan yang ada, dengan segala manfaat dan risikonya. Hemat saya, pilihan yang ketiga yang paling rasional, karena terdapat keseimbangan antara memperjuangkan rupiah dan harga diri. Namun ada catatan, peran BNP2TKI dalam melindungi mereka tetap mendapat perhatian selama masa transisi. Rupanya, perjalanan TKI masih panjang. Sambil tetap dikritisi, biarkan para anggota dewan yang terhormat memutuskan yang terbaik bagi rakyatnya. Semoga para TKI dan calon-calon TKI memiliki harapan masa depan yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H