Lihat ke Halaman Asli

Mas Yunus

TERVERIFIKASI

Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Inflasi, Nilai Tukar Petani dan Swasembada Pangan: Haruskah Impor Lagi?

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14310104501003416201

[caption id="attachment_415832" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Kompasiana (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)"][/caption]

Negeri kita yang disebut-sebut sebagai "negeri gemah ripah loh jinawe", patut kita syukuri. Tuhan menganugerahi negeri ini sumber daya alam yang melimpah. Keindahan lokasi wisatanya juga menjadi daya tarik dunia. Bandar udara kita juga diakui dunia. Baru-baru ini, Bandara Ngurah Rai (Bali) dan Bandara Juanda (Surabaya) mendapat pengakuan internasional sebagai bandar terbaik dunia, masing-masing peringkat 7 dan 10. Penilaian tersebut dilakukan melalui Survei Airport Service Quality oleh Airport Council International dalam kategori jumlah penumpang 15 juta-25 juta orang per tahun.

Pendek kata, negeri kita sangat potensial, baik dalam aspek sumber daya alam maupun industri jasa pariwisata. Namun ketika media memberitakan pertumbuhan ekonomi kita yang melambat cukup signifikan (4,71% pada kuartal I-2015), kondisi ini "mengejutkan" banyak pihak. Bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai 5,14%.

Sebab-sebab penurunan tersebut dapat dipengaruhi oleh sisi produksi maupun sisi konsumsi. Dalam bidang pertanian, Bulog yang berperan sebagai penjaga kestabilan harga di sejumlah daerah belum mampu menyerap gabah petani. Salah satu alasannya karena kalah bersaing dengan pelaku selain Bulog yang menawarkan harga lebih tinggi. Selain itu, produksi menurun akibat mundurnya periode tanam. Dalam kondisi seperti  itu, Menko Bidang Perekomian Sofyan Djalil kemudian berancang-ancang mengimpor beras sebagai usaha untuk menjaga gejolak harga yang berpotensi memicu inflasi.

Dampak Inflasi Terhadap NTP dan Kesejahteraan Petani

Bagi buruh tani,  inflasi yang tinggi seolah-olah seperti "tangan tidak tampak" yang tiba-tiba memukul mereka dari belakang. Bikin pusing, bahkan bisa pingsan beberapa saat. Apalagi, dalam waktu dua bulan ke depan saatnya mereka menjemput Hari Raya Idul Fitri. Inflasi benar-benar "menjadi ujian" bagi mereka untuk bersabar. Betapa tidak, pendapatan yang selama ini mereka terima, selain sudah terbilang kecil akan terasa semakin kecil. Dengan pendapatan yang sama, mereka merasa lebih miskin dari sebelumya, karena digerogoti inflasi. Inflasi dapat menggerus tingkat kesejahteraan petani, terutama buruh tani.

Salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani tergambar dari perbandingan antara indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang harus dibayarnya. Konsep inilah yang dikenal dengan Nilai Tukar Petani (NTP). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan bahwa secara nasional NTP mengalami penurunan sebesar 1,37 % pada April 2015 dibandingkan dengan NTP bulan sebelumnya. Padahal bulan Ramadhan segera tiba. Permintaan akan komoditas pangan diduga kian meningkat. Jika stok beras tidak terjaga, dihawatirkan akan memicu kenaikan inflasi.

Bagi banyak negara, inflasi dianggap sebagai penyakit perekonomian. Inflasi yang tinggi akan memicu rendahnya daya beli masyarakat. Daya beli yang rendah akan memicu rendahnya konsumsi komoditas di pasar barang, harga-harga komoditas akan menurun, dan seterusnya. Sisi produksi maupun konsumsi akan mengalami kontraksi. Goncangan sektor moneter akan mempengaruhi sektor riil, atau sebaliknya; Kontraksi ini berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi, seperti yang terjadi baru-baru ini.

Walhasil, stok beras harus dikendalikan agar tidak berpotensi mempertinggi inflasi. Inflasi yang tak terkendali, dampaknya acapkali merembet ke aspek lain di luar ekonomi, seperti ketidakstabilan sosial dan situasi politik di negeri ini. Tentu kita berharap, semoga hal ini tidak terjadi.

Swasembada Beras Vs Impor Beras: Pilih Mana?

Untuk mengatasi masalah di atas, salah satu cara yang ditempuh oleh pemerintah ialah dengan mengimpor beras.  Dalam jangka pendek, kebijakan ini kiranya bisa dipahami. Tetapi dalam jangka panjang, sebaiknya kebijakan swasembada pangan adalah pilihan tepat. Bagi pemerintah, sebenarnya lebih efisien mengimpor beras dari pada produksi sendiri. Beaya yang dibutuhkan untuk impor lebih murah, tidak ribet. Menjaga stabilitas Bulog juga berbeaya tinggi. Mungkin lebih efisien impor beras dari negara tetangga seperti Kamboja atau Vietnam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline