Lihat ke Halaman Asli

“Kami Dicap Penganut Aliran Sesat...” (Bagian 2)

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ruangan pertemuan di Gedung Dewan Pers, di bilangan Kebon Sirih, Jakarta  mulai dipadati peserta diskusi. Rabu pagi, 11 November 2009 silam, dihelat diskusi tentang kebudayaan tradisional.Acara digagas Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI). Koordinator ANBTI,Nia Syarifuddin mengatakan organisasi ini dibentuk sebagai wadah, menentang upaya penyeragaman budaya dengan mengatasnamakan agama dan etnis. Niamengakui, stigma atau cap buruk adalah masalah yang kerap dihadapi penghayat kepercayaan. “Seringkali mereka dicap beraliran sesat, tidak bertuhan dan penyembah berhala. Kedua,kadang-kadang mereka terbentur pada masalah administrasi kependudukan.Sulit sekalimereka mencantumkan agama dikolom agama sesuai keyakinan kalau tidak “distrip”.Dan kalau distrip, ini akan jadi masalah saat mereka misalnya mengurus ke bank, sekolah dll. Ini stigma yang palingberat secara psikologis,” jelas Nia.

[caption id="attachment_164176" align="aligncenter" width="416" caption="Penganut Parmalim di Sumatera Utara tengah beribadah (Sumber foto: http://wongalus.files.wordpress.com)"][/caption]

Masalah Teknis Semata

Undang-undang Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang disahkan DPR pada tahun 2006 rupanya belum cukup ampuh untuk mengakomodasi kepentingan penghayat kepercayaan. Di situ, misalnya, pemerintah meminta para penghayat membentuk organisasi. Agama lokal pun diminta menginduk kepada salah satu agama resmi yang diakui Negara. Dengan kata lain, kepercayaan mereka tak diakui. Organisasi untuk para penghayat itu dijamin bisa mempermudah pengurusan dokumen kependudukan, kata Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama, Departemen Agama, Abdul Fatah. Selain itu, Negara jadi lebih mudah mengawasi kegiatan penghayat.

Tapi bagaimana kalau ada penghayat yang tak masuk ke organisasi tersebut?Dewi Kanti, penghayat Sunda Wiwitan, memilih untuk tak bergabung. “Belum mengakomodir semua, baru mengakomodir penghayat yang berorganisasi. Tapi kalau masyarakat adat atau tradisional , itu gak butuh sebuah lembaga organisasi seperti Sikep atau Kanekes. Kami di Cigugur, itu sudah cukup kecewa dengan lembaga lembaga yang bisa saja dibubarkan saban waktu,”papar Dewi. Akibatnya konsekuensi pun mestiditanggung Dewi. Pengurusan KTP, surat nikah dan administrasi kependudukan lainnya: sulit. Ia tak kunjung bisa mencantumkan kata ‘Sunda Wiwitan’ di KTP.

Kepala Pusat Kerukunan Umat BeragamaKementerian Agama, Abdul Fatah menilai situasi yang dialami Dewi saat mengurus masalah administrasi kependudukan, semata-mata persoalan teknis semata, “Saya kira itu kan dariformulir lama (KTP),Jadi formulir baru nanti ada kolom lain-lain. Di KTP itu nanti ada kolom agama lain-lain. Karena akan muncul pertanyaan penghayat kepercayaan yang mana karena ada 200 lebih. Betapa banyaknya kolom (di KTP). Ini kan masalah teknis dalam administrasi," jelasnya.

Masalah  yang dihadapi penghayat ini, kata Nia Syarifuddin  akibat keberadaan mereka berada di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, bukan Kementerian Agama. Koordinator ANBTI, Nia Syarifuddin mengatakan, ini karena agama dan kepercayaan kebanyakan lahir dari adat dan tradisi lokal. “Kalau pemerintah mau mengimplementasikan pasal 29 di konstitusi(UUD ) ya harusnya mereka diperlakukan sama. Mungkin ini akan diperdebatkan ini agama atau bukan. Tapi itu kan esensi yang lain. Tapi merekasebagai warga negara, sama sama bayar pajak, sama sama diakui oleh sila 1 pancasila,” kritik Nia.

Sosialisasi UU Adminduk Minim

Kemenbudpar mengaku  tak melihat persoalan yang dihadapi para penghayat. Kepala Adat dan Upacara di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Julianus Limbeng mengatakan, jika ada kesulitan yang dialami kaum penghayat saat mengurus masalah yang terkait administrasi kependudukan, lebih akibat belum tersosialisasinya Undang-undang Administrasi Kependudukan. Ini bukan soal diskriminasi. “Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata ini kan lebih banyak membantu dan memberdayakan mereka. Kita lebih cenderung melihat mereka kepada aspek kebudayaannya. Mungkin tidak tepat mereka berada di bawah Kementerian kebudayaan dan pariwisata. Atau mungkin mereka ditempatkan di Kementerian Agama dan Kepercayaan misalnya,” kata Limbeng

Aturan hukum setingkat Undang-undang yang lahir empat tahun lalu rupanya tak mampu mengubah kondisi mereka. Penghayat tetapmendapat stigma, mengalami diskriminasi, dipersulit pengurusan dokumen kependudukannya. Untuk itu  Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika kata Nia Syarifuddin berencana mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Nyaris 30 tahun lalu, Dewi Kanti menjadi saksi kekerasan terhadap kepercayaan Sunda Wiwitan yang dianutnya. Puluhan tahun berlalu ternyata tak banyak berpengaruh. Bisa jadi anak, mungkin cucu, Dewi Kanti masih harus melalui stigma, diskriminasi dan kekerasan dari negara. Hanya karena mereka dianggap berbeda. (Fik)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline