Lihat ke Halaman Asli

Cerita dari Adopsi Pohon di Sarongge

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

[caption id="attachment_133237" align="alignnone" width="500" caption="Salah satu lokasi adopsi pohon di Sarongge (Foto-foto: M.Taufik Budi Wijaya)"][/caption]

Peluh membasahi kening, Ahmad Dito Aryodamar Azca.Meski terlihat lelah, bocah lima tahun itu tetap semangat mendaki. "Kalau sudah sampai di atas, aku akan bawakan batu dan daun untuk oleh-oleh, temanku di sekolah," ujarnya sambil menyeka keringat.  Mendengar celotehannya, sang ayah hanya bisa tersenyum.

Sabtu (1/5) lalu, Dito, bersama puluhan orang lainnya tengah mendaki Gunung  Gede. Tujuannya ke Hutan Sahabat Green, Sarongge, Cianjur, Jawa Barat. Di areal hutan yang sebelumnya dikelola Perum Perhutani tersebut, mereka akan mengadopsi dan menanam pohon atas nama pribadiatau lembaga.  Sejak 2003 kawasan ini, telah diambil alih Balai  Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). [caption id="attachment_133234" align="aligncenter" width="300" caption="Adopter pohon memasuki areal Hutan Sahabat Green. "][/caption]

Setelah melepas penat, sholat  dan makan siang, sekitar pukul 14 WIB, puluhan adopter mulai menuju ke lokasi penanaman bibit pohon. Melewati jalan setapak dan menuruni lembah yang cukup curam. Di kanan kiri, tampak sayur-mayur  segar, yang ditanam petani setempat. Diantaranya wortel, sawi , bawang dan brokoli. Sekitar 20 menit berjalan, kami tiba di lokasi penanaman.

"Selamat datang di Hutan Sahabat Green, bapak-ibu," kata Dudu Duroni dengan logat Sundanya. Setelah menjelaskan  tujuan program adopsi pohon, Ketua Gabungan Kelompok Tani Hutan.Gapoktan Swargi,itu membeberkan kiat menanam bibit pohon agar berhasil. " Kita pegang dan raba tanah bibit yang dibungkus plastik. Selanjutnya dielus-elus, biar akar dan tanahnya padat menyatu. Lantas buka plastik pembungkusnya perlahan-lahan. Baru masukan ke lubangyang sudah digali,” ujar lelaki 33 tahun.

[caption id="attachment_133242" align="aligncenter" width="225" caption="Dudu Duroni, Ketua Gapoktan Swargi "][/caption]

Sayabersama adopter lainnya, langsung menyerbu sekitar 100bibitpohon yang disediakan.MenurutDudu, bibit pohon yang ditanam kali ini diantaranya jamuju, puspa, dan suren. “Nanamnya hati-hati ya.Jangan sampai merusak tanaman bawang milik petani,” kata lelaki 33 tahun itu mengingatkan. Maklum saja penanaman bibit pohon dengan caratumpang sari dengan sayuran milik petani.

[caption id="attachment_133250" align="aligncenter" width="300" caption="Seorang adopter, warga asing "][/caption] Agarbibit pohon yang ditanam, tak mati, Dudu bersama anggota Gapoktan Swargi saban hari memantau pertumbuhan pohon. “Pagi atau sore kami menengokpohon yang ditanam di Hutan Sahabat Green. Kami juga minta bantuan petani, agar menyiram dan memupukpohon. ”

Berdayakan Petani

Mengutip informasi dari brosurbertajuk "Sarongge: Pintu Hutan Tropis yang Tersisa", program adopsi pohon Hutan Sahabat Green di Sarongge, merupakan kerjasama Green Radio FM 89,2 Jakarta dengan TNGGP sejak pertengahan 2008. Penanaman bibit pohon pertama dilakukan 8 Juli 2008. Program reforestasi inibertujuan untuk merehabilitasi areal taman nasional yang terlanjur berbentuk kebun-kebun sayur. Luas areal yang dijadikan kebun sayur oleh warga sekitar mencapai 6.778 hektar are. Sekitar 5000 ha dari area tersebut,tersebar di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur, akan direhabilitasi lewat program adopsi pohon. [caption id="attachment_133252" align="aligncenter" width="225" caption="Salah satu pohon suren yang ditanam adopter, mulai tumbuh. Raja Belgia, King Albert II adalah salah satu adopter pohon jenis ini"][/caption]

Selain TNGGP dan Green Radio, program adopsi pohon melibatkan dua pemangku kepentingan lain: pengadopsi pohon dan petani yang berkebun di areal itu. Adopter menyumbangkan dananya untuk program ini, petani yang menanam dan merawat pohon tersebut. Green Radio bersama TNGGP dan petani juga mencari jalan, supaya petani mendapat alternatif sumber pendapatan. Sebab pertanian sayur-mayur di areal itu tak boleh dilakukan lagi, setelah tanaman yang diadopsi berumur tiga tahun. “ Sekitar tahun 2012 atau 2013 petani bisa beralih berprofesi. Kalau pohon yang ditanam sudah besar dan rimbun, mereka tak akan menanam sayuran,” harap Dudu.

[caption id="attachment_133256" align="aligncenter" width="300" caption="penulis bersama anak mengadopsi 1 pohon"][/caption]

Agar petani tidak lagi bergantung pada kebun-kebun sayurdiarea taman nasional, Green Radio bersama Gapoktan Swargi merumuskan kegiatan ekonomi alternatif yang dapat dilakukan. “Petani dibagi dalam beberapa kelompok, mereka diberi kambing, kelinci sampai lebah untuk diternakan,” jelas Dudu. Selain beternak, penyiar radio komunitas Edelweisitu juga dilibatkan mengelola camping ground Sarongge. Meski tak besar, alhasil,penghasilan bapak satu anak itu bersama petani Sarongge lainnya ikut bertambah. Menutup perbincangan, Dudu berharap sumbangsih kecilnya bersama petani Sarongge merawat pohon, ikut membantukelestarian hutan di kawasan taman nasional (Fik)

tulisan senada dimuat pula di sini: http://www.facebook.com/?ref=home#!/notes/m-taufik-budi-wijaya/cerita-dari-adopsi-pohon-di-sarongge/420015827027

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline