Lihat ke Halaman Asli

Paradoks Citra Diri Terlahir dari "Benda Mati"

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Salah satu strategi marketing paling efektif yang berkembang di era globalisasi adalah penanaman citra terhadap suatu produk. Produk industri yang sebenarnya  hanya sebuah komoditas biasa di”paksa”kan, melalui periklanan, memiliki nyawa yang mampu merubah sisi batin sipembeli/pemakainya. Pesan-pesan iklanistis diciptakan dan didistribusikan secara massif dan sistematis ke wilayah publik yang dengan pesan itu mampu menyentuh wilayah ego manusia. Tentu saja proses ini bisa dilakukan dengan terlebih dahulu mendalami psikologi kemanusiaan. Peta psikologis manusia diidentifikasi dan diklasifikasikan secara detail dan teliti guna untuk menemukan instrumen periklanan yang paling tepat.

Kemampuan mendalami psikologi dan menyusun peta psikologi akan berdampak pada bagaimana melakukan komunikasi-efektif antara “benda mati” yang bernyawa dengan makhluk hidup yang bernama manusia. “Benda mati” ini diharapkan dapat mentransformasi kesadaran manusia menurut yang dikehendaki oleh si pencipta “benda mati” tersebut. Kecenderungan saat ini dimana manusia terbiasa berkomunikasi melalui media (sosial dan massa) membuat para marketer menjadi lebih mudah dalam mewujudkan misinya. Hal ini disebabkan karena mereka yang terbiasa berkomunikasi tanpa melakukan kontak-rasa secara langsung dengan komunikannya cenderung akan membentuk psikologi pribadinya hanya menurut kehendak dirinya sendiri. Mereka akan berada pada kesadaran  dirinya tanpa banyak campur tangan dari pihak luar sehingga mereka akan menentukan citra diri yang tidak terverifikasi secara baik dengan lingkungannya. Melalui wilayah kesadaran yang seperti inilah “benda mati” tersebut mengintervensi sisi esoterik manusia. Wilayah esoterik yg telah terintervensi inilah akhirnya membentuk citra-diri baru sesuai dengan kepentingan “benda mati”.

Dalam hal ini, banyak contoh yang bisa ditampilkan, antara lain: para anak muda merasa hidupnya memiliki status sosial yang bergengsi ketika telah mamiliki mobilephone canggih dan menikmati makanan di Kentucky Fried Chiken (KFC), kaum ibu merasa penting mengisi kehidupannya dengan mengunjungi salon kecantikan secara rutin, para eksekutif muda mengisi waktu liburnya dengan mengkhususkan dirinya menghadiri acara-acara yang bernuansa pleasure, pemilihan mode tertentu yang dikesankan memiliki pengaruh bagi status sosial seperti jeans yang ditempelkan padanya kesan gagah. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa pada akhirnya penikmat suatu produk mengeluarkan biaya tertentu untuk sebuah citra bukannya untuk sebuah fungsi dari produk tersebut. Dan, kondisi seperti inilah yang membentuk pola budaya baru; sebuah pola budaya yang merelakan diri seseorang untuk berada dalam tawanan sebuah produk yang tanpa disadarinya terus mengungkung wilayah esoterisnya dari hari ke hari hingga kediriannya hilang menjadi sebuah sosok yang mengidentikkan dirinya dengan citra-produk.

Tawanan pola budaya baru tersebut tidak hanya menjangkiti person per person dari masyarakat akan tetapi juga terlembagakan pada institusi negara sehingga membawa dampak yang sangat massif. Bahaya yang muncul ketika negara pun telah tertular pola budaya tersebut adalah ketika proses pembangunan yang dilakukan berdasarkan atas kecenderungan yang dimiliki oleh pemimpin yang telah terjangkiti pola budaya baru tersebut diterjemahkan dalam kebijakan dan regulasi. Hal ini ditunjukkan pada, antara lain, kebijakan pembangunan pusat perbelanjaan modern (Mall) di berbagai daerah dianggap sebagai gengsi yang mesti dilakukan meskipun hal tersebut mengabaikan kepentingan kesejahteraan masyarakat secara umum. Atau dengan kata lain pembangunan tidak didasari oleh kebutuhan mendasar masyarakat tapi dilandasi oleh sebuah gengsi. Gengsi dalam hal ini terbentuk karena, sekali lagi, peran “benda mati” yang telah diberi nyawa oleh pihak tertentu.

Pihak yang memproduksi produk “benda mati” tersebut adalah pemodal atau para pemodal. Hal ini penting untuk diketahui karena pada saat ini pemodal telah menjadi pusat perputaran hampir setiap sisi kehidupan manusia. Dengan demikian pemodal mampu membentuk makna tertentu terhadap hampir setiap aktivitas tertentu. Secara pelan namun pasti mereka menjadikan pola budaya reifikatif menjadi pilihan hidup. Reifikasi dalam hal ini adalah sebuah kondisi dimana kualitas manusia, tindakan manusia, hubungan antar manusia dan bahkan manusia itu sendiri ditransformasikan menjadi benda atau komoditas atau dengan makna lain kemenangan benda dan komoditas terhadap manusia. Langkah-langkah sistematis untuk penanaman budaya yang diikat oleh pola reifikasi ini sengaja dilakukan oleh para pemodal, karena reifikasi ini ibarat lahan subur yang siap ditanami oleh bibit-bibit paham materi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline