Lihat ke Halaman Asli

Pers, Pulsa, dan Persepsi

Diperbarui: 7 Februari 2021   08:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

"Media massa yang semula penuh kekeramatan menjadi serupa kerajinan tangan. Semula yang tersumbat lalu jebol bak gelombang. Semua bisa dan boleh membuat majalah dan koran. Jurnalistik kemudian kehilangan jurnalisme. Lalu penerbitan benar -- benar hanya berisi tulisan." (Prie GS; mantan wartawan dan budayawan)

Kalimat ini kembali mengingatkan, saat Saya mencoba berperspektif bagaimana dinamika pers hari ini. Disaat pers sudah menjadi 'milik pribadi' dan sangat dekat dengan semua orang, hanya dalam genggaman tangan saja. Semuanya terasa sangat sederhana, sembari menunggu masuknya waktu shalat, rebahan depan televisi, duduk di parkiran menunggu isteri belanja bahkan saat terbangun tengah malampun, produk pers setia menemani.

Lalu kita benar-benar merdeka dan menjadi diri sendiri. Menentukan pilihan tanpa intervensi. Mau menjadi manusia pembaca judul saja dan langsung membagikannya atau tipe pembaca cepat melompat -- lompat sampai ke karakter tertinggi, konsumen yang menganalisa kalimat, foto dan video plus berhati -- hati dengan apa yang terjadi; menelaah beritanya murni fakta ataukah disusupi rencana?

Dan semua itu butuh pulsa tentunya. Bagai hembusan nafas yang tak boleh berhenti. Walau tak mati, tapi dipastikan hambar tanpa timeline yang dinanti. Ponsel menjelma menjadi alat transfer apa saja; Koran, majalah, brosur, televisi, advertorial dan penyanjung sekaligus penghasut terbaik sesuai kadar emosi pemiliknya.

 Dan beritapun diinterpretasi para konsumennya sesuai pengalaman hidup. Bagi anak baru gede mungkin berita cukup serius terbaca saat mereka berselancar mencari gosip atau video idolanya. Dengan keyword Korea misalnya, bisa saja pilihan berita yang muncul tentang otoriternya presiden Korea Utara. Begitu randomnya pilihan hidup kita, selain berita -- berita hangat kiriman rekan terkait peristiwa daerah kita.

Dampaknya, netizen dari umur milenial, baik gen X maupun gen Y hingga usia senja, sangat melek informasi saat ini. Pengetahuan umum mereka sangat luas, setara buku RPUL. Jangan bandingkan wawasan orang masa kini dengan senior kita sepuluh atau limabelas tahun lalu. Apalagi pengetahuan tentang hobinya. Mereka yang hidup dimasa ini bisa jadi expert dengan segala searchingnya bila lahir ditempo dulu; walaupun pemahaman itu didapat dengan membaca dan melihat video di ponsel belaka.

Apakah perbandingan berita yang sama dari bermacam perspektif media membuat masyarakat semakin pintar. Iya, hemat saya. Mereka lebih cerdik memahami dan mudah belajar mana fakta tanpa penyusup atau sebaliknya, sebab kemampuan ini bisa menular, bahkan bagi si tipikal pembaca judul sekalipun; asalkan Ia mencerna media sosial terkait tautan itu.

Berita yang ditautkan dalam media sosial kini jadi Kawah Candradimuka bagi nama baik dan kedigdayaan produk pers itu sendiri. Apabila prematur, akan terungkap dan lebur, dikuliti dan dibedah warganet, yang bisa saja sang pembaca atau penontonnya lebih memahami kondisi lapangan pemberitaan.

Kemudian produk pers kian bertahan sebagai produk semata, sarinya ditelan bersama-sama didalam komentar media sosial, sialnya bila berita itu penuh maksud terselubung, akan selalu ada pro kontra sesuai pemahaman pembaca. Tapi, kerapnya ada orang bijak yang menyampaikan objektifitas, lalu lahirlah buzzer sebagai penyeimbang, sebagai pasukan kasat mata. Tak dipungkiri mereka lahir dalam situasi huru hara untuk bereaksi menggiring opini produk pers. Begitu hebatnya revolusi media yang kita rasakan hari ini. Menciptakan pola berantai hingga menetaskan profesi baru.

Kredibilitas pewarta dan dapur redaksi sangat mudah dinilai oleh warga, terlebih yang berkecimpung dilevel daerah; sangat mudah mendiskusikannya, semacam pembicaraan kedai kopi jadinya. Yang kerap bersinggungan dengan pers daerah, kalangan elit lokal umpamanya, sudah dapat memetakan bagaimana kelebihan dan kekurangan perusahaan pers, hingga penilaian ke personal reporter sekalipun.

Profesionalisme pers diera yang seterbuka ini adalah keniscayaan. Seperti NKRI harga mati, tak bisa ditawar -- tawar lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline