Hal – hal kecil selalu menarik. Disitulah letak sebuah kesempurnaan bersemayam. Langit dan bulan sabit dikala malam tak perlu diperjuangkan, sudah haknya. Tetapi , kala muncul gerombolan bintang pada sisi gelapnya, lengkaplah sudah semua keindahan malam.
Baru – baru ini, ada hal kecil yang tentunya juga menarik bagi saya. Walikota Tanjungpinang, Lis Darmansyah menginstruksikan jajaran perangkat daerahnya agar menggunakan tanjak saban Jumat bagi seluruh pegawai laki - laki, sebagai pelengkap penggunaan baju daerah (baju kurung) diruang lingkup Pemerintah Kota Tanjungpinang.
Surat Kabar Tanjungpinang Pos, Selasa (7/2/2017) secara tersurat menyampaikan cita – cita Walikota terkait kebijakan dimaksud. Disebutkan bahwa, ia berharap dan mengimbau masyarakat juga mulai dan mau memakai tanjak, sebagai suatu gerakan memperkenalkan budaya Melayu.
Tanjak dalam literatur Melayu dikenal pula dengan istilah tengkolok atau destar. Penggunaan tanjak dengan segala lambang bagi status pemakainya, menurut banyak ahli sejarah Melayu, bermula sejak zaman kesultanan Melayu Melaka. Seyogyanya laki – laki Melayu sejak dulu sudah kerap melilitkan kain diatas kepalanya sebagai penahan sengat mentari semasa bekerja.
Bentuk tengkolok atau tanjak pun beragam, sesuai nama dan maksud si pemakai mencerminkan jatidirinya sebagai sebuah simbol. Tentunya, gelinding zaman juga mempengaruhi reka bentuk tanjak sekaligus pola ‘kepakeman’ penggunaannya.
Masa lalu, cara mengikat tengkolok mengikut status seseorang. Makin tinggi kedudukannya, semakin indah dan banyak lipatan kain pada tanjaknya. Jikalau golongan bangsawan, kain tanjak dari kualitas terbaik lalu ujung tanjaknya meninggi dan tajam; melambangkan derajat dan kekuasannya. Apabila ia seorang jawara atau pendekar, ikatannya lebih kemas dan seolah duduk tegap (rendah) mencerminkan kegagahannya.
Satu yang ternama diantaranya, (jenis lipatan) Tanjak Dendam Tak Sudah. Karakter ini menyimbolkan tanjak para raja diraja, tanjaknya Seri Paduka Baginda Yang Dipertuan Agung. Diperkirakan motif ini awalnya berasal dari Negeri Sembilan Malaysia. Masih banyak lagi jenis tanjak yang dikenal dalam budaya Melayu, diantaranya Belalai Gajah, Setanjak Balung Raja, Sarang Kerengga, Pucuk Pisang, Buana, Elang Menyusur Angin, Elang Melayang, Cogan Daun Kopi dan masih banyak lainnya.
Efek Domino Tengkolok
Himbauan yang disampaikan Walikota tersebut hemat saya merupakan sebuah langkah besar, entahlah bagi orang lain. Instruksi tersebut akan berimbas seperti efek domino. Dua hal besar terjadi; yang sudah pasti adalah, memperkuat identitas budaya di provinsi bunda tanah Melayu ini. Sisanya, menggerakkan roda ekonomi masyarakat.
Minimal, warga Tanjungpinang akan mempelajari kembali bentuk – bentuk tanjak tradisi yang cocok dengan seleranya. Semakin banyak referensi, originalitas akan lebih tergali dan keinginan untuk terus mengeksplorasi budaya Melayu akan semakin tinggi, syukur – syukur bermuara pada keinginan untuk belajar sejarah Melayu dalam skala yang lebih luas.
Perantau yang bermukim di Tanjungpinang akan lebih memahami budaya tempatan. Selama baju kurung dikenakan kala terlibat dalam momen tertentu, wawasan budaya Melayu juga akan terserap dengan sendirinya, secara perlahan. Dapat saja pembuka perkenalan dimulai dengan basa – basi perbedaan jenis tanjak, nama dan sejarahnya.