Berkisah tentang masa lalu Melayu, tak bisa diingkari ingatan kita akan dilarikan kepada benteng, bangunan kerajaan yang dominan bercat kuning dan mulut meriam atas bukit yang mengarah ke pantai. Lalu disambut hembusan angin disepanjang pelantar atau bom berlatarkan pemandangan hamparan laut diisi kapal – kapal kayu yang kokoh menyisip diantara jong sebagai alat angkut turun – temurun yang berjejer ditepi pantai.
Budaya Melayu yang dibangun kental dengan nuansa Islam, sungai dan uap air asin ini, jarang mengingatkan kita betapa agungnya budaya tulis yang pernah dimiliki puak ini. Rata – rata kita hanya mengenal nama ulama dan pujangga Raja Ali Haji dengan gubahan Gurindam Dua Belasnya semata. Entahlah mengapa.
Ahli sejarah selalu mengaitkan kebudayaan aksara dan angka merupakan peninggalan premium dari suatu kaum, selain sesuatu yang berbentuk mega struktur pastinya. Itulah sebabnya mengapa hitungan tahun Sebelum Masehi (SM) diartikan bahwa, belum ada peradaban didunia ini mampu memiliki kesepakatan memaknai arti dari susunan huruf. Kasarnya, manusia dianggap belum sampai pada masa yang seharusnya ia ada.
Teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow menyimpulkan, apabila kita memiliki keinginan baru, artinya kebutuhan setingkat dibawahnya sudah terpenuhi terlebih dahulu. Karya dari olah fikir dan olah rasa disemayamkan pada posisi tertinggi dalam formasi segitiga Maslow, termasuk didalamnya aktualisasi diri.
Proses aktualisasi diri Melayu sebagai sebuah kaum, bermula sejak para putera bangsa ini merantau ke berbagai tempat, mencari dan menemukan hal baru dinegeri orang, lalu mempengaruhinya. Baik menetap diluar ataupun sekembalinya ke kampung halaman.
Dalam buku Syeikh Ahmad Al Fathani Pemikir Agung Melayu dan Islam (Jilid II) karangan Wan Mohd Shaghir Abdullah; Tok Dil – begitu saya memanggil sang penulis – mengisahkan tentang asal muasal dunia pensyarahan dan percetakan serta pengaruhnya ke semenanjung Melayu, termasuk diwilayah kerajaan Riau Lingga pada masa itu.
Dibukunya, Tok Dil yang semasa hidupnya rajin bersilaturahim mengunjungi para narasumber kunci sekaligus mengumpulkan naskah atau bukti pendukung mengenai sepak terjang ulama – ulama Asia Tenggara ini, mengerucutkan pada satu nama. Syeikh Ahmad Al Fathani.
Cerita ini bermula saat Syeikh Ahmad Al Fathani (SAF), ulama Melayu asal Patani Thailand itu bermukim di Mekah dan bersahabat dengan Syeikh Mushthafa alBaby alHalaby. Syeikh Mushthafa adalah pemilik mathba’ah atau percetakan di Mesir. Karena ilmu SAF mengenai agama, teknik penulisan dan sastra dianggap mumpuni, Syeikh Mushthafa mempekerjakannya sebagai penyimak (editor) kitab – kitab Arab yang sedang diproses di Mathba’ah miliknya.
Sampai suatu masa, mereka beda pandangan. SAF kecewa karena percetakan Syeikh Mushthafa selalu menolak usulannya untuk mencetak karangan – karangan ulama yang berasal dari dunia Melayu. Percetakannya menganggap akan bermasalah pada pemasaran karena kitabnya akan sepi peminat. Ditambah lagi, Syarif (Raja Mekah) saat itu tidak membenarkan kitab – kitab selain berbahasa arab ditransliterasi dan disebarkan di Mekah dan Madinah.
Diam – diam, SAF mencari percetakan yang bisa bekerjasama. Bertemulah dengan pemodal yang bernama Al Amjad al Kasymiri dan anaknya, Abdul Ghani. Lalu terbitlah kitab Melayu berbahasa arab pertama yang dicetak di negeri Mesir, Hidayah as Salikin karya Syeikh dari Palembang, Abdus Shamad al Falimbani dipercetakan Syeikh Hasan at Tukhi.
Sadar akan keadaan yang kurang bersahabat kedepannya, SAF menghubungi Sultan Abdul Hamid Khan ats Tsani, Sultan Turki Utsmaniyah. Kemudian SAF banyak menghabiskan waktunya ke berbagai tempat di Timur Tengah untuk belajar mematangkan teknik cetak. Sampai akhirnya ia dilantik oleh Sultan Turki sebagai kepala percetakan kerajaan Turki.