Lihat ke Halaman Asli

Iklan Kampus, Durian atau Tempoyak?

Diperbarui: 10 Februari 2016   21:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bingung mau kuliah dimana? Banyak yang menjadikan kalimat tanya ini sebagai pembuka kisah jelang ‘musim’ penerimaan mahasiswa baru. Tahukah anda, biasanya musim tersebut tak jauh jaraknya dari musim duren, buah yang katanya khas Asia itu. Wangi semerbaknya jauh, sepanjang bahu jalan. Pada masa jayanya, buah bulat berduri tersebut akan berjejer rapi  memanggil para pelalu – lalang.

Info untuk memilih kampus dan membeli durian beda tipis. Jika kampus dengan menginfokan seluruh keunggulannya melalui  web dan brosur;  promosi durian lewat bualan sang penjual dan buah yang terbuka saja. Lalu, sama – sama kita bayangkan kebenarannya. Yang menyatukan perbedaan itu adalah faktor harga. Untuk memantapkan pengambilan keputusan terhadap dua produk itu, ketebalan dompet menjadi indikator utama. Syukurnya, kita sudah cukup pintar akibat sering membaca dan menonton berita dari smart phone, yang terkadang lebih pintar dari penggunanya. Sudah tertanam sense semua orang dengan segala  pengalamannya untuk memilih barang bagus dengan harga miring.

Lupakan durian, buah yang bisa diolah menjadi tempoyak itu. Jikalau busuknya durian masih bisa digunakan,  tidak dengan dunia pendidikan. Bisa bikin alergi, bahkan penyakit lalu menimbulkan korban. Kampus dengan web yang memesona belum tentu menarik dari kacamata kualitas pendidikan nasional.

Motif klasik yang kerap digunakan adalah brosur undangan. Brosur atau tepatnya form pendaftaran dari kampus – kampus dikota, mengirimkan dirinya untuk dimasuki oleh seluruh pelajar SLTA tahun terakhir diseluruh pelosok nusantara. Semacam beasiswa gratis yang disamaratakan untuk seluruh siswa, dengan pola by name terkadang by addres. Membuat teruja sang penerima.

Waspadalah. Tak sulit mendapatkan data tersebut bagi pemain dibidang ini. Apalagi diera sekarang, motif brosur undangan itu bisa berubah wujud jadi apa saja.  Jika murid, guru dan orangtua tidak memiliki ponsel pintar atau jaringan internet tetapi memiliki daya juang yang tinggi untuk belajar, bisa membuat mabuk. Mengalahkan mabuk durian. Kebanggan sebagai mahasiswa undangan terkadang membuat besar kepala. Bagi yang pengamalan agamanya baik, dianggap sebagai berkah yang harus disyukuri. Terlebih, diiming – imingi gratis uang ini itu. Menggiurkan.

Waspadalah. Lihat intinya. Akreditasi kampus, kompetensi pengajar dan pengelolanya. Jangan lihat aksesorisnya. Tak ada masalah bila yang dimasuki kampus milik negara, kendati banyak juga fakultas di universitas negeri yang belum mencapai akreditasi level premium. Apalagi kampus yang dikelola swasta.

Hati – hati. Bisa jadi, sebelum rampung menuntut ilmu, kampus sudah tutup; apalagi jika para fresh graduate niatnya mencari kampus yang mempermudah proses, dengan pertemuan minimalis, hanya beberapakali tatap muka tiap semester dan hadir saat ujian saja; semacam kampus yang diminati para pekerja sukses. Jika itulah motivasinya, jangan berharap bisa jadi pekerja diperusahaan multinasional dan karyawan negara suatu saat.  Jangan sampai ijazah hanya jadi pajangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline