Lihat ke Halaman Asli

HUSNI NURUDIN

Arsiparis

Fenomena Urbanisasi setelah Lebaran

Diperbarui: 18 April 2024   15:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah sejak lama, banyak penduduk dari berbagai daerah di Indonesia bekerja atau mencari pekerjaan  di tempat-tempat yang jauh dari kampung halamannya atau di luar tempat kelahirannya.  Diantara mereka, banyak yang semasa hidupnya merantau di daerah lain atau terlibat dalam gerak penduduk nonpermanen, sementara banyak pula yang akhirnya menetap dan menjadi warga permanen di daerah tujuan.  Sudah hampir dipastikan biasanya setelah para pemudik pulang kampung untuk merayakan Lebaran Idul Fitri di kampung halamannya sekembalinya ke Kota Besar Jakarta dan sekitarnya, mereka membawa serta kerabat atau sanak saudaranya yang belum mempunyai pekerjaan untuk mencoba mengadu nasib di perantauan karena mengharapkan nasibnya lebih beruntung ataupun mendapatkan pekerjaan yang lebih mapan sesuai keinginan mereka.  Dikarenakan di kampungnya tidak ada pekerjaan yang cukup layak bagi mereka.  Kalaupun ada mungkin bekerja mengolah tanah persawahan, menanam padi, memanen padi yang sudah menguning di Sawah itupun hanya pekerjaan musiman tiap enam bulan sekali.  Sedangkan yang mereka harapkan adalah pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan ataupun kemampuan mereka yang bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari serta mendapatkan penghasilan yang tetap.

Sebagaimana yang banyak dilakukan oleh penduduk desa, kurangnya kesempatan kerja di daerah asal merupakan pendorong utama melakukan migrasi ke kota besar. Tapi secara umum, selain karena alasan yang berhubungan dengan pekerjaan itu, mereka juga bergerak  migrasi ke kota karena berbagai alasan, yang antara lain berhubungan dengan pendidikan, gangguan alam, gangguan keamanan dan struktur sosial.

Dalam tahun-tahun belakangan ini kelihatannya gerak penduduk yang berhubungan dengan pekerjaan makin penting. Perbedaan tingkat upah dan kesempatan kerja antara di desa dan kota merupakan faktor yang menstimulasi angkatan kerja untuk pindah ke kota.  Sayangnya gelombang pendatang ini tidak bisa ditampung di sektor formal yang biasanya sukar dalam menyerap tenaga kerja.  Kebanyakan dari angkatan kerja yang produktif dan kurang berketerampilan tersebut tersangga di kantong-kantong ekonomi informal dalam jumlah semakin besar.  Ini terjadi karena lapangan kerja alternatif di kota tujuan belum tumbuh secara memadai, meski pola pembangunan bias urban.  Akhirnya terjadi luapan angkatan kerja di kantong ekonomi informal yang bekerja dengan produktivitas rendah dan subsisten, hanya karena untuk mempertahankan hidup.

Sebagaimana yang juga dikemukakan oleh Amin keragaman peluang kerja di kota dengan tingkat upah relatif lebih tinggi daripada tingkat upah di desa menyebabkan penduduk pedesaan cenderung untuk pindah ke kota. Di pihak lain, tekanan kemiskinan pedesaan mendorong mereka pergi ke kota.  Sektor informal menjadi penyelamat para migran tadi karena sektor formal memberi tempat amat sedikit jika dibandingkan dengan arus deras pencari kerja setiap tahun.  Karena itu tampaknya faktor pendorong (push factor) migrasi terkesan lebih kuat dibandingkan dengan faktor penariknya (pull factor), Kenyataannya meski para migran di Jakarta tadi hidup sangat tidak layak, tetap saja arus migrasi tidak pernah surut dari tahun ke tahun.  

Dari sisi demografis, migrasi penduduk ke kota yang telah berlangsung sejak lama itu terlihat dari angka pertumbuhan penduduknya yang semakin terus meningkat.  Peningkatan jumlah penduduk perkotaan, selain karena migrasi juga karena tumbuhnya kota-kota baru, baik secara vertikal maupun horizontal.  Salah satu daya tarik tingginya migrasi itu adalah tingginya laju pertumbuhan ekonomi kota.  Sayangnya pembangunan kota tidak disiapkan untuk menampung para pendatang, sehingga mengalami kesulitan dalam penyediaan fasilitas pelayanan umum dan lapangan kerja.  

Padahal bertambahnya jumlah penduduk membutuhkan penyediaan lapangan kerja yang  cukup memadai, sementara daya serap tenaga kerja di sektor formal sangat terbatas.   Ini berarti  sektor informal akan menjadi pilihan berikutnya.   Pedagang Kaki Lima (PKL) hanyalah salah satu elemen dari subsektor perdagangan dalam sektor informal yang sangat diminati.  Subsektor lain termasuk transportasi, karena tidak begitu banyak membutuhkan banyak modal.   Demikian juga sektor industri pengolahan, bangunan dan jasa.  Untungnya kehadiran sektor informal seperti  PKL  yang menjamur di seputar pusat keramaian, warung – warung yang buka di emper-emper plaza, pasar tradisional yang masih tetap menawarkan dagangannya memberikan harapan angin segar bahwa peluang pekerjaan di sektor informal masih tetap ada dan dibutuhkan.  

Betapapun ganas dan kerasnya kehidupan di kota besar, bagi kaum migran apa-apa yang ada di kota besar tetap menjadi  magnet yang memiliki daya tarik kuat karena keramahan sektor informal yang tak pernah surut.  Dari segi tata ruang kehadiran PKL yang menjamur di berbagai sudut kota dan bahkan meluber hingga memakan sebagian bahu badan jalan mungkin terasa sangat mengganggu sehingga Lalu lintas kendaraan menjadi macet dan para pemilik kendaraan roda empat mau tidak mau harus ekstra sabar agar dapat keluar dari kemacetan jalan-jalan ataupun trotoar yang dihuni oleh PKL.  Tapi bagi kaum migran sendiri,  mereka lebih memikirkan bagaiaman mereka harus bertahan hidup dan bagaimana agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya yang tinggal di desa yang tentu jauh lebih penting.

Sejalan dengan itu, Organisasi Buruh Dunia (ILO) memprediksikan, masalah terbesar yang dihadapi kota-kota dunia pada abad ke 21 adalah pengangguran sebagai faktor yang menentukan (determinan) mempengaruhi urbanisasi warga desa ke kota.  ILO bahkan memperkirakan 1,2 miliar pencari kerja yang akan memasuki pasar kerja pada tahun 2025 dari migrasi desa menuju kota tetap merupakan faktor dominan, sehingga sebagian besar lapangan kerja harus diciptakan di kota.  Pada tahun 2025, setengah jumlah penduduk di dunia akan tinggal dan bekerja di kota dan negara berkembang yang akan menyumbangkan bagian terbesar dari pembengkakan penduduk kota.  Orang-orang ini membutuhkan pekerjaan kalau aglomerasi baru dibangun sebagai pusat-pusat kesempatan ekonomi dan peradaban. Dan bukan sebagai wilayah yang dipenuhi ketidaksetaraan dan ketidakadilan.  Ini mempertegas bahwa kebijakan Pemerintah untuk melanjutkan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) Penajem Paser Utara Kalimantan Timur sebagai Pusat Pemerintahan baru di Negara Indonesia  semakin mendesak serta layak untuk segera diselesaikan untuk menawarkan solusi alternatif pemecahan masalah penyediaan lapangan kerja dan Percepatan Pemerataan Pembangunan Ekonomi di Wilayah Indonesia timur.  Dengan munculnya bonus demografi di beberapa tahun yang akan datang, diharapkan  angkatan generasi muda nantinya memunculkan produktivitas kerja yang lebih tinggi untuk mewujudkan pembangunan Indonesia dari yang tidak berhaluan “Jawa  Sentris”. Memberikan kemakmuran bagi warga negara tingkat menengah ke bawah,  pendapatan asli daerah di wilayah – wilayah Indonesia Tengah menjadi lebih baik.  Hanya generasi dari pekerja yang produktif yang dapat memutuskan lingkaran setan kemiskinan di perkotaan, yang akan menjadi akar masalah kota-kota besar.

Sampai saat ini Kebijakan dari Pemerintah Indonesia telah memberikan Kartu Pra Kerja yang memberikan tanggungan kompensasi bagi para pencari kerja selama mereka belum mendapatkan pekerjaan akan mendapatkan fasilitasi pelatihan kerja gratis, insentif selama 6 bulan sampai mereka mendapatkan pekerjaan yang layak.  Dan untuk warga yang bertempat tinggal di desa telah dilakukan berbagai upaya agar warga desa tetap tinggal berdomisili di kampungnya dengan mengucurkan Program Pembangunan Padat Karya di desanya masing-masing melalui Penyaluran Dana Desa sebesar hampir satu milyar untuk tiap satu desa di wilayah Indonesia.

Namun jika warga pendatang yang memang benar – benar ingin berangkat ke Kota Besar terutama di Pulau Jawa yang memang tingkat penduduknya sudah sangat tinggi. Disarankan agar mereka memiliki ketrampilan dan skill yang benar-benar mumpuni sehingga ketika mereka mencari kerja dengan tenaga kerja yang lain dapat bersaing secara sehat.  Dan setidak-tidaknya melengkapi dengan kartu identitas berupa Kartu Tanda Penduduk dan benar - benar ada jaminan kerja dan tempat tinggal yang permanen sehingga ada kepastian keamanan diri pribadi pencari kerja dalam bekerja dan tempat penghidupan yang layak. Informasi terakhir Pemerintah DKI Jakarta tidak akan melaksanakan operasi Yustisi ke para pencari kerja selama menunjukkan Kartu Identitas yang masih berlaku dan jaminan bertempat tinggal yang layak huni.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline