Pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa perubahan signifikan dalam skema perpajakan yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Berikut adalah rincian kebijakan tersebut beserta analisisnya dari sudut pandang pemulihan pajak (tax recovery) dan respons masyarakat:
1. Kenaikan Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%
Sesuai dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN akan meningkat dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.
Analisis Tax Recovery:Kenaikan tarif PPN diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara, yang penting untuk pemulihan fiskal pasca-pandemi. Namun, peningkatan ini juga dapat menekan daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah, yang berpotensi mengurangi konsumsi dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Respons Masyarakat:Kebijakan ini memicu reaksi beragam. Sebagian masyarakat khawatir terhadap dampaknya pada daya beli dan biaya hidup sehari-hari. Namun, pemerintah berupaya meredam kekhawatiran dengan memberikan insentif, seperti PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1% untuk komoditas penting seperti minyak goreng curah, tepung terigu, dan gula industri.
2. Penerapan Pajak Minimum Global
Indonesia akan memberlakukan dua skema pajak minimum global mulai 1 Januari 2025: Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT) dan Income Inclusion Rule (IRR). Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional dan memastikan kontribusi pajak yang adil.
Analisis Tax Recovery:Penerapan pajak minimum global dapat meningkatkan basis pajak dan mencegah erosi pendapatan negara akibat praktik penghindaran pajak. Hal ini sejalan dengan upaya global untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan.
Respons Masyarakat:Kebijakan ini lebih berfokus pada perusahaan multinasional dan diharapkan tidak langsung mempengaruhi masyarakat umum. Namun, implementasinya dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan yang lebih adil.
3. Penyesuaian dengan Kemampuan Masyarakat