Bekerja di Hong Kong walaupun bukan satu impian, tapi tetap saja menjanjikan. Hong Kong adalah satu-satunya negara di Asia yang terbilang aman jika dibanding dengan negara-negara lain tujuan BMI. Selain karena Hong Kong adalah negara maju, juga memberikan kebebasan. Aturan yang diterapkan pemerintah Hong Kong untuk BMI jelas dan terukur walaupun masih terjadi pelanggaran di sana-sini, baik yang dilakukan oleh majikan, agency ataupun BMI itu sendiri. Adapun yang membedakan Hong Kong dengan negara lain di antaranya; gaji standar, libur yang dibagi menjadi libur mingguan, hari besar dan libur tahunan, cuti sakit/polis asuransi, tempat tinggal, bekerja sesuai yang tertera di kontrak kerja, makan/uang makan setiap bulannya, biaya akomodasi perjalanan ke Hong Kong.
Sering kali kita dengar di Taiwan yang orang menyebutnya dengan negorone wong cino, banyak BMI yang tidak dapat jatah libur. Di Singapura, Malaysia apalagi Timur Tengah tidak ada peraturan yang memadai untuk perlindungan BMI, oleh karena itu, banyak masalah yang tidak terjamah aparat hukum. Selain itu, kultur budaya di negara tersebut menjadi salah satu penghambat.
Kembali ke Hong Kong, kita bisa melihat bagaimana fasilitas pemerintah, sangat memadai untuk membuat kita maju, misal; perpustakaannya. Kebebasan untuk mencari ilmu, berkarya dll. Bisa dilihat pada saat hari Minggu, berbagai jenis kegiatan yang dilakukan oleh BMI. Kesadaran untuk mencari ilmu, pengembangan diri, ketrampilan terbentuk di sini. Mereka benar-benar bebas beraktifitas! Hong Kong menjadi primadona! Primadona untuk berhura-hura, primadona untuk berkarya, primadona tumpuan orang yang mau menjalankan wirausaha.
Namun dibalik itu, ada satu hal yang sepertinya harus kita pikirkan, luruskan dan selaraskan, keseimbangan! Keseimbangan antara hak dan kewajiban sebagai BMI yang baik. Banyak di antara kita yang lupa atau sengaja melupakan hal yang satu ini, mentang-mentang Hong Kong punya peraturan yang berpihak pada nasib BMI, bila dibandingkan dengan negara lain. Keberpihakan yang seharusnya kita tempatkan pada tempat yang benar. Memang, bila majikan melakukan pelanggaran seperti yang tersebut di atas tadi akan dapat sanksi oleh pemerintahannya sendiri, dan kitapun juga sama sesuai jalur hukum yang berlaku. Kita bisa menuntut dan sebaliknya. Namun pernahkah kita berpikir ulang, apakah tuntutan sudah sesuai dengan kualitas kinerja kita?
Kalau majikan tidak kasih libur, kita bisa menuntut. Kalau majikan mempekerjakan kita tidak sesuai dengan yang tertera di kontrak kerja, kita bisa menuntut. Kalau majikan menyuruh kita tetap kerja pada saat kita sakit, kita juga bisa menuntut dlsb. Bukankah gampang sekali alasan yang bisa kita ajukan untuk membawa majikan ke persidangan? Dan itulah yang akhir-akhir ini terjadi! Namun, bila kita mau jujur pada diri sendiri, apakah yang kita lakukan saat majikan sedang tidak ada di rumah? Benar-benarkah kita bekerja? Atau justru malah sebaliknya? Ngobrol sekelar-kelarnya, korupsi waktu saat ke pasar untuk chatting atau buka facebook bahkan mungkin kita tidur. Mari kita intropeksi diri dalam menghadapi hal ini. Bisakah suatu kebaikan tercipta bila kita memberikan separuh hati kita dalam bekerja? Sudahkah ada keseimbangan dengan tuntutan yang kita gulirkan ke labour dengan kapasitas kerja kita? Rasanya kurang bijak bila kita melakukan itu semua hanya karena kata, hak!
Sebelum kita menuntut hak kita, bisakah kita memberikan terlebih dahulu kewajiban dengan sepenuh hati walaupun majikan tidak sedang berada dengan kita? Bukankah kalau kita ingin mendapatkan apa yang menjadi hak, kita harus memberikan apa yang menjadi kewajiban, dan itu adalah hak majikan! Janganlah sedikit-sedikit menuntut majikan hanya karena kita merasa dirugikan. Apa saja yang biasanya menjadi pemicu para BMI menuntut? Peraturan yang ditetapkan pemerintah Hong Kong yang dilanggar warganya. Perlu di akui, mayoritas majikan sebelum mengambil pembantu pasti sudah mengerti atau setidaknya membaca formulir kontrak kerja, namun ada juga dari mereka yang pura-pura tidak tahu. Hanya sebagian kecil saja yang benar-benar tidak tahu.
Hal inilah yang menjadi pemicu terjadinya banyak kasus yang berujung di meja pengadilan. Antara hak dan kewajiban, sudah saatnya kita selaraskan agar tercipta keseimbangan! Apapun nama dan bentuknya bila tidak seimbang akan menimbulkan ketidaknyamanan. Akan ada perdebatan, ketidakadilan, penyelewengan bahkan pemberontakan. Bila kita mengalami ketidakadilan, bicarkanlah baik-baik dulu dengan majikan dan lihatlah bagaimana reaksinya. Bila majikan membandel bersiteguh dengan pendirianya yang benar-benar salah, maka kita bisa menempuh jalur hukum. Janganlah menjadikan sejumlah nilai uang sebagai alasan utama melakukan tuntutan.
Dalam perjuangan menggapai keinginan, pasti ada proses yang akan kita lalui. Mau tidak mau, terpaksa atau suka rela, tapi percayalah, itu semua hanya bentuk penyesuaian saja. Janganlah kita menyamaratakan persoalan yang satu dengan yang lainnya. Kita lihat dulu kapasitas masalahnya. Bila memang sudah melalui batas, maka wajiblah kita menuntutnya, dengan harapan hal itu tidak akan terjadi lagi di masa-masa mendatang. Menjadikan sebagai peringatan agar majikan tidak sewenang-wenang. Antara kedua belah pihak bisa menciptakan suasana nyaman di tempat kerja. Antara kita dan majikan adalah dua pihak yang saling membutuhkan. Bagai siang dan malam!
Bila di alam semesta ini hanya ada siang atau malam saja, betapa membosankan! Tidak ada keseimbangan! Tidak ada kenyamanan! Dan selalu akan berselisih paham!
Tidak sedikit BMI yang kini punya suasana nyaman di majikannya karena ia mau melalui proses yang tentu saja memakan waktu. Ada yang sekian bulan, sekian tahun bahkan bertahun-tahun. Untuk sebuah kenyamanan, memang butuh waktu! Sudah menjadi hukum alam, bila ingin menerima maka, memberilah dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H