Lihat ke Halaman Asli

Etos Kerja Di Negaraku

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

          Dalam perjalanan dari Malang ke Jember bersama keluarga, ku sengajakan diri naik bis antar kota. Untuk menyingkat waktu aku pilih bis patas/bis cepat  agar tidak kemalaman di jalan. Dalam bayangku kendaraan ini bersih,nyaman,berAC,kursinya bisa diselonjorkan untuk tiduran,ada TV yang bisa ditonton dan tidak ada para pedagang/pengamen masuk yang terkadang mengganggu kenyamanan para penumpang. Setelah semua barang bawaan dimasukan di bagasi bis,aku masuk lewat pintu belakang. Aku sangat terkejut setelah berada di dalam bis,ternyata keadaannya jauh dari apa yang aku pikirkan. Kotor, kursinya sudah ada yang mulai rusak,catnyapun mulai mengelupas,dan kotak TVnya berisi tas-tas para awak bis. Sungguh sangat berbeda dengan delapan tahun silam saat aku belum merantau ke luar negeri tepatnya Hong Kong. Kecewa……………..

         Perlahan bis yang ku tumpangi melaju meninggalkan area terminal Arjosari Malang dalam kecepatan sedang. Ada sekitar dua puluh lima orang penumpang di dalamnya.

Bis sudah jauh meninggalkan kota Malang dan mulai memasuki kota Pasuruan. Sang kondektur ku lihat berdiri menghampiri penumpang satu per satu untuk menarik uang karcis. Betapa terkejutnya,saat giliranku mau menyerahkan uang,sang kondektur mengatakan kalau bis yang ku tumpangi tidak sampai ke Jember dan penumpang yang akan bepergian ke sana  di turunkan di terminal Probolinggo.

Langsung saja aku menanyakan alasannya apa,tiba-tiba membatalkan perjalanan ke kota tersebut padahal rute perjalanan mereka adalah kota yang aku tuju. Dan saat di terminal tadi,kendaraan ini juga parkir di area dengan kota tersebut. Dalam pemikiranku,mereka tidak bisa seenaknya mengubah rute perjalanan  hanya karena jumlah penumpangnya sedikit.

         Aku protes dengan kinerja awak bis yang bagiku sangat tidak profesional hanya memikirkan urusannya  sendiri tanpa memikirkan urusan orang lain yang sudah mempercayai dengan menaiki kendaraannya. Ku katakan kepada sang kondektur alasanku menggunakan jasa  bis ini karena membawa barang banyak, tetapi jawaban yang aku terima sungguh membuat  kecewa. Penumpanng yang duduk di bangku sebelah dengan tujuan yang sama denganku juga protes dengan sikap awak bis ini karena mereka adalah seorang pedagang yang sedang kejar waktu. Dengan mimik wajah yang seakan tidak bersalah, sang kondektur mengatakan kalau bis ini hanya sampai Probolinggo. Tidak memberi alasan apalagi mengucapkan kata maaf karena jelas-jelas telah membohongi penumpang yang pastinya juga punya kepentingan. Mungkin ada yang pulang kerja ingin segera jumpa keluarga, atau ada yang sedang menjalankan sebuah usaha dengan membawa barang-barang dagangannya dan mungkin pula ada yang sedang bikin janji temu dengan patnert bisnisnya dll. Mereka semua pasti ingin urusannya segera beres, tetapi para awak bis ini pura-pura tidak mengerti atau lebih pantas dikatakan masa bodoh.

        Setelah menyerahkan uang karcis, aku coba menetralkan gejolak emosi yang membuatku tak nyaman. Percuma beragumentasi sama awak bis tersebut. Mungkin mereka sudah biasa melakukan hal itu dalam menjalankan pekerjaannya. Bila dirasa menguntungkan, mereka akan bekerja dengan baik, tetapi bila tidak menguntungan membuat keputusan sepihak. Seperti inikah wajah negeriku yang terkenal ramah tamah, rajin, sopan dan baik..? Itu hanya  Jorgan  ! Dalam hal kecil saja sudah tidak punya etos kerja yang baik apalagi dalam hal besar. Bukankah pencapaian hal besar karena akumulasi hal kecil yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab ?!

Bagaimana negeri ini bisa mencapai kemajuan bila tidak ada kejujuran dalam menjalankan tugas-tugasnya.

        Aku rasa negeriku sudah menjadi negeri yang mengedepankan egoisme dengan kepentingan pribadi sebagai kiblatnya. Semua terjadi karena kecenderungan himpitan ekonomi dimana setiap individu lebih terfokus pada pemenuhan kebutuhan pribadi. Semakin sempitnya lowongan pekerjaan menimbulkan banyak orang hidup dalam persaingan yang tak sehat. Sudah tidak lagi menghiraukan nilai-nilai luhur dalam bermasyarakat. Sikut sana, tendang sini, menjilat, menyuap, menyerobot hak orang lain menjadi satu hal yang dilumrahkan.

          Ada yang mengatakan, dalam keadaan perut lapar, orang tidak akan bisa berpikir jernih. Betulkah? Apakah lapar membuat kita jadi orang yang tidak punya etika? Membuang nilai-nilai luhur seperti kejujuran, kedisplinan dan tanggungjawab dalam bermasyarakat dan berbangsa? Bukankah kelak kita akan memasuki ruang peradilan Tuhan..?  Ini bukan satu alasan yang bisa dibenarkan! Karena Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam bila dibanding dengan negara lain. Tetapi semua itu malah dibawa lari oleh investor-investor dari luar negeri. Kenapa hal itu bisa terjadi? Karena kebanyakan masyarakat Indonesia malas untuk membuat perubahan. Mereka lebih suka menunggu kesempatan datang, padahal kesempatan bisa diciptakan  dan hidup kita sendiri dikelilingi banyak peluang? Tetapi kemalasan itu telah membutakan hati untuk berubah…!

         Apapun propesi yang kita jalani adalah tanggungjawab yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Menjalankannya dengan rasa cinta akan membuat kita merasa enjoy di dalamnya dan sudah pasti hasil yang diraih berbeda dengan apabila kita menjalankan dengan sikap asal-asalan. Selama di Hong Kong banyak sekali hal-hal sepele yang aku lihat dan ternyata justru karena hal sepele tersebut, negara ini bisa maju. Hong Kong cuma negara kecil bila dibanding dengan Indonesia, tetapi masyarakatnya sangat kreatif, disiplin, jujur dan rajin. Sesuatu yang di Indonesia tidak berguna, ternyata di negeri ini bisa menghasilkan uang. Apapun itu…!!

Usut punya usut, semua itu karena masyarakatnya memiliki SDM yang tinggi dan ini sangat disadari oleh pemerintah untuk digalakkan dan terus ditingkatkan.

 Hong Kong memang bukan Indonesia dan tidak perlu dibanding-bandingkan karena tiap negara punya kebijaksanaan otonomi sendiri. Tetapi satu hal yang harus kita renungkan bersama , salahkah bila Indonesia belajar mencari tahu alasan kenapa suatu negara yang kecil seperti Hong Kong bisa maju dan memakmurkan rakyatnya?

          Perut lapar bukan ukuran untuk melempar tanggungjawab dalam menjalankan tugas baik itu berskala kecil ataupun besar. Justru rasa lapar itu digunakan sebagai alasan untuk berpikir mencari solusi agar mencapai peningkatan dengan  tetap mengindahkan nilai-nilai luhur bangsa ini. Bukanlah suatu hal yang memalukan bagi Indonesia untuk belajar, lalu mengoreksi diri, memilah mana yang harus kita tinggalkan dan mana yang harus kita tingkatkan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline