Lihat ke Halaman Asli

Memaknai Kembali Mitsaqan Ghalizhan dalam Hukum Perkawinan Indonesia

Diperbarui: 4 Maret 2024   12:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perjanjian perkawinan bukan hanya sebagai peristiwa perdata an sich, tetapi lebih dari itu menjangkau dimensi spiritual ke-Ilahian yang di dalam bahasa Al-Qur'an disebut mitsaqan ghalizhan. Dalam Al-Qur'an hanya tiga kali Allah SWT menyebutnya, yaitu: (1) Suatu perjanjian dengan Bani Israel  yang dalam Al- Qur'an diceritakan bahwa dalam melakukan perjanjian ini di mana sampai-sampai Allah mengangkat Gunung Thursina ke atas kepala  Bani Israel (Q.S. An- Nisa: 154), (2) Perjanjian  Allah dengan para Rasul yang berpredikat Ulul Azmi; Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa (Q.S. Al- Ahzab: 7), dan (3) Allah menyatakan dengan diksi, bahwa pernikahan merupakan mitsaqan ghalizhan, yaitu perjanjian yang sangat kuat nan agung, sebagai salah satu perikatan yang telah disyari 'atkan dalam agama.

Suatu pernikahan itu haruslah memenuhi unsur metafisika spiritual ke-Ilahian yang berfilosofi, yakni sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

Dalam pasal tersebut terdapat beberapa unsur penting, yaitu:

  • Ikatan lahir batin, artinya adanya hubungan hukum / keterikatan secara formal yang nampak, dan adanya hubungan psikis yang kuat serta emosional yang terhubung satu sama lain dengan sangat kuat, tidak disembunyikan dan berpura-pura.
  • Antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, artinya tidak diperkenankan antara seorang pria menikah dengan lebih dari satu wanita dalam waktu bersamaan. Apalagi jika lebih dari satu wanita dengan seorang pria. Pernikahan mana adalah sebagai suami istri, bukan kumpul bersama tanpa ikatan sah (kohabitasi).
  • Dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, artinya tidak hidup sendiri melainkan membentuk kelompok primer yang terdiri minimal dari dua orang sebagai unit terkecil dalam masyarakat, dengan tidak menghendaki adanya kenestapaan serta untuk waktu yang lama (bukan untuk sementara / kawin kontrak).
  • Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya mengharapkan keberkahan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksakannya merupakan ibadah. Pasal 3 nya menentukan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Berbeda dengan konsep perdata di mana Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama (Pasal 26 BW). Ketentuan tersebut hanya memandang perkawinan dari hubungan keperdataan saja, atau memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata dengan mengenyampingkan unsur agama. Artinya menyerahkan pengertian perkawinan kepada ketentuan keperdataan saja dengan tidak memperhatikan faktor agama, maka perkawinan di sini tidak lebih dari semacam persetujuan perikatan seperti yang diatur dalam Pasal 1338 BW. Bahkan di Negara Barat (AS), di mana  perkawinan adalah marriage is a form of contract (bentuk persetujuan), atau lengkapnya there are three contract of marriage; the man, the women, and the state (kontrak perkawinan terdiri dari tiga pihak, yaitu calon suami, calon istri dan Negara / Pemerintah).

Namun bagi Indonesia, perkawinan merupakan perjanjian suci di mana Allah SWT sebagai saksinya. Dogma suci ini adalah dimaksudkan betapa sakralnya peristiwa perkawinan itu karena tidak hanya untuk pemenuhan nafsu biologis, tetapi juga bertujuan sangat penting yang berkaitan dengan psikilogis, sosial, dan agama. Perkawinan dalam hukum nasional, memiliki makna dimensi ibadah yang sangatlah besar dalam pelaksanaanya, sehingga perceraian menjadi suatu perbuatan yang harus dihindari. Oleh karenanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mempersulit terjadinya perceraian. Berbeda dengan non muslim di mana tidak boleh terjadinya perceraian. Perceraian hanya terjadi karena kematian. Di Indonesia dengan  dogma suci ini juga telah melarang perkawinan antar agama (inter-religius).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline