Bagaimana Masa Depan Pesisir Jakarta Setelah Pilkada?
Pemilihan kepala daerah tidak hanya sebatas aktivitas politik belaka, setiap 5 tahun sekali kita dengan antusias menyambut calon-calon kepala daerah yang baru dengan semangat pembangunan dan kemajuan. Berbagai masalah sosial turut disorot dan digaungkan oleh masih-masing calon guna menunjukkan kualitas gagasan dan penawaran solusi atas penderitaan yang selama ini dikeluhkan rakyat.
Menggaungkan dan membahas serius masalah sosial memang penting untuk pembangunan daerah, namun seringkali topik-topik krusial yang lain seperti isu lingkungan hidup seakan-akan senyap dan tak dilirik dalam setiap janji kampanye para calon pemimpin daerah. Padahal gagasan dalam masalah lingkungan hidup adalah indikator utama bagi keseriusan pemerintah dalam mengelola wilayah negara. Masalah lingkungan hidup bagaikan kanker dalam raga manusia yang terus menggerogoti dan mengancam keberlangsungan hidup organisme di dalamnya.
Dilansir dari Detik.com, Jakarta sebagai wilayah metropolitan mempunyai panjang garis pantai sebesar 120 km. Jakarta menjadi kota pesisir yang masyhur sejak era kolonial hingga sekarang. Wilayah pesisir Jakarta merupakan wilayah vital bagi aktivitas ekonomi, perdagangan, dan perikanan. Wilayah pesisir tersebut menjadi tumpuan hidup bagi jutaan warga Jakarta karena disanalah tempat mereka tinggal dan mencari penghidupan. Sayangnya dari masa ke masa Jakarta mempunyai PR terkait keberlangsungan ekosistem pesisir yang belum juga terselesaikan dengan baik. Ancaman abrasi dan kenaikan air laut semakin nyata terlihat di depan mata warga Jakarta, dengan melihat data dari Detik.com menyebutkan bahwa garis pantai Jakarta sepanjang 46,2 km sedang dalam keadaan kritis, hal tersebut membuat kita menuntut pemerintah untuk serius dalam menghadapi persoalan ini. Masyarakat di utara Jakarta setiap harinya dibayangi oleh mimpi buruk tenggelamnya tempat tinggal mereka dengan melihat fakta bahwa sejak 1974, Jakarta diketahui telah mengalami penurunan hingga 4,5 meter akibat pengambilan air tanah secara berlebihan.
Tak hanya masyarakat Jakarta Utara, masyarakat yang bertempat tinggal di kepulauan seribu juga hidup dalam bayang-bayang mimpi buruk yang sama.
Menurut WALHI, Krisis iklim telah mengakibatkan setidaknya 23 pulau di wilayah kepulauan seribu terancam tenggelam, dan fakta yang lebih memprihatinkan adalah sebanyak 6 pulau di kepulauan seribu sudah tenggelam.
Tenggelamnya pulau-pulau di Jakarta bukan semata-mata disebabkan karena krisis iklim namun juga aktivitas jahat manusia yang serakah dalam memanfaatkan alam. Contohnya saja penambangan pasir pantai untuk kebutuhan reklamasi baik di Jakarta maupun luar negeri yang semakin memperburuk kondisi ekosistem pesisir pulau.
Ancaman nyata dari krisis iklim dan tindakan eksploitasi pesisir seharusnya menjadi musuh utama pemerintah Jakarta dalam upaya memajukan provinsi Jakarta. Wilayah pesisir Jakarta memiliki potensi yang sangat besar jika dapat dikelola dengan baik, kawasan pulau seribu adalah surga yang dianugerahkan Tuhan bagi Jakarta, pemandangan gugusan pulau seribu dengan kekayaan lautnya menjadi daya tarik bagi para pelancong domestik maupun luar negeri.
Selain sektor pariwisata wilayah pesisir Jakarta juga memiliki potensi ekonomi perikanan yang dapat menghidupi jutaan masyarakat pesisir Jakarta. Namun potensi-potensi tersebut bisa menjadi sebuah mimpi dan angan-anagan belaka jika masalah krisis iklim dan lingkungan pesisir tidak ditangani dengan baik.
Menurut beberapa pengakuan warga yang saya temui di Pulau Pari,Kepulaluan Seribu, mereka saat ini semakin sulit untuk mencari ikan di wilayah laut kepuluan seribu, hasil tangkapan ikan yang mereka dapat tidak semaksimal dulu, para nelayan Pulau Pari mengaku bahwa mereka harus berlayar jauh hingga ke tengah lautan untuk mendapatkan ikan.Tak hanya tangkapan ikan, usaha budidaya ikan kerapu warga Pulau Pari juga terkena dampak dari krisis iklim yang berlangsung,ikan kerapu yang dibudidayakan tidak bisa dipelihara lagi akibat kenaikan suhu air laut.