Lihat ke Halaman Asli

Regenerasi Sistem Pendidikan Indonesia Demi Masa Depan Bangsa

Diperbarui: 9 Juni 2022   15:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tak semua siswa bisa menerima sistem pendidikan yang diberikan. Andai fokus sistem pendidikan di Indonesia dapat menyesuaikan minat masing-masing siswa, apakah akan ada perubahan dalam kualitas pendidikan mereka? Menuntut ilmu memanglah kewajiban bagi siswa, namun apakah ilmu yang dituntut siswa dapat menjanjikan untuk kedepannya? Saya merasa sangat beruntung bisa menempuh pendidikan hingga bisa berkuliah, tetapi jika mengingat kembali pada masa-masa sekolah dahulu, ada beberapa sistem pendidikan yang kontra dengan perspektif saya.

Pendidikan adalah usaha yang sadar dan terencana dalam mewujudkan suasana dan proses pembelajaran untuk peserta didik dalam mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian, kecerdasan, budi pekerti, serta keterampilan yang nantinya akan berguna bagi mereka dan masyarakat. Pendidikan merupakan aspek terpenting yang harus dimiliki oleh suatu negara dalam menentukan kualitas sumber daya manusia demi keberlangsungan dan kemajuan negara tersebut. Selain itu bagi individu, pendidikan sendiri merupakan sebuah kebutuhan pokok demi menunjang kehidupan mereka serta bagi orang-orang di sekitar mereka.

Sistem pendidikan di Indonesia dapat dikatakan masih sangat kurang maksimal dari berbagai segi terutama tentang bagaimana sistem tersebut tak bisa mengimbangi porsi minat para siswa. Dikatakan demikian karena sistem pendidikan hingga saat ini masih mewajibkan mereka untuk memahami seluruh mata pelajaran yang diberikan. Ketentuan ini dianggap membebani siswa karena fokus mata pelajaran yang terlalu luas, sedangkan tidak semua siswa memiliki kemampuan yang sama untuk memahami seluruh mata pelajaran. Perbedaan kemampuan minat dan bakat sangat memengaruhi efektivitas siswa di sekolah. 

Pada pengalaman saya misalnya, semasa menjadi pelajar Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Akhir (SMA) ada satu pelajaran yang cukup sulit untuk saya pahami yaitu matematika. Saya kesulitan untuk memahami pelajaran hitung-menghitung itu, namun saya cukup mahir dalam mata pelajaran bahasa Inggris. Dikarenakan seluruh mata pelajaran yang diberikan pada masa sekolah bersifat wajib, meskipun merasa kesulitan saya akhirnya mau tak mau dituntut untuk bisa melalui seluruh mata pelajaran, termasuk mata pelajaran matematika.

Berdasarkan pengamatan saya, akibat dari permasalahan sistem pendidikan ini ternyata juga berdampak pada banyak siswa di Indonesia. Dampak yang terjadi pun bermacam-macam, ada yang memengaruhi kondisi psikis mereka, ada yang menjadi malas untuk pergi ke sekolah, hingga depresi dan mengakhiri hidupnya. Selain kesulitan dalam pelajaran tertentu, saya tidak menyangka jika hal ini bisa memberi dampak yang cukup signifikan pada keberlangsungan hidup saya kala itu. Pada saat kelas 11 SMA saya merasa cukup penat akibat dari pelajaran yang tak kunjung saya pahami, akhirnya saya pun mulai mencoba merokok untuk mencari ketenangan. Saya juga tak dapat mengontrol emosi sehingga saya menjadi pribadi yang mudah marah. Terkadang pula saya menjadi pribadi yang apatis sehingga saya kesulitan untuk bersosialisasi. Untungnya kondisi saya saat ini perlahan mulai membaik karena dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar.

Berbeda dengan siswa-siswa di luar sana yang memiliki masalah yang sama namun sangat disayangkan kehidupan mereka tak kunjung membaik hingga berujung merenggut nyawa. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, siapa sangka jika kehadiran pandemi pada awal 2020 malah makin memperburuk sistem belajar mengajar di Indonesia. Kasus-kasus baru muncul saat era pandemi ini di mana banyak yang memutuskan untuk berhenti sekolah, kesulitan mendapat koneksi jaringan sehingga tak bisa mengikuti pelajaran semestinya, hingga materi yang sulit untuk dipahami karena keterbatasan ruang dan waktu. Meski memakan waktu yang cukup lama, setidaknya mereka kini dapat kembali bersekolah secara tatap muka dan diharapkan permasalahan pembelajaran selama pandemi tidak terulang kembali.

Permasalahan lain yaitu pada jam belajar mengajar yang terlalu lama dan padat. Rata-rata waktu pembelajaran yang dihabiskan di sekolah yaitu sembilan jam lamanya, mulai pukul 06.30-16.00. Di pagi hari mereka diharuskan untuk berangkat ke sekolah hingga selesai pada sore hari. Sepulang sekolah mereka tidak dapat beristirahat dikarenakan pekerjaan rumah yang di mana mereka bisa mendapat tugas lebih dari satu dalam sehari. Belum lagi jika mereka mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dan bimbel. Sebagian besar waktu mereka digunakan untuk belajar, mereka hampir tidak memiliki waktu untuk bersosialisasi atau bermain dengan teman-teman mereka.

Membahas permasalahan waktu, yang ingin saya kritisi adalah dari sedemikian lamanya waktu yang digunakan untuk pelajaran wajib, seharusnya Pemerintah bisa memanfaatkan waktu tersebut menjadi lebih efisien. Terkhusus pada jenjang Sekolah Menengah karena siswa telah memasuki usia yang tepat untuk menemukan minat mereka, saya berharap suatu saat sistem pendidikan nasional bisa memberikan waktu pelajaran wajib selama 2-3 jam saja sedangkan sisa waktu bisa digunakan untuk pelajaran sesuai yang mereka minati, baik itu akademis maupun non-akademis.

Opsi lain untuk mengatasi permasalahan ini adalah Pemerintah khususnya Menteri Pendidikan harusnya berkaca pada sistem pendidikan negara maju seperti Jepang yang menerapkan sistem berpikir kritis, mengutamakan pelajaran etika dan pelajaran keterampilan khusus. Ada pula sistem pembelajaran di Finlandia yang tidak menitikberatkan pada nilai kompetisi namun nilai kerjasama. Penerapan waktu belajar di Finlandia juga setidaknya patut dicontoh dengan tiap pembelajaran yang berlangsung selama 45 menit kemudian diberi jeda 15 menit agar menstabilkan performa siswanya.

Harus menunggu sampai kapan agar sistem pendidikan di Indonesia menjadi benar? Sebagai mantan siswa dan juga warga negara Indonesia, tentu saya ingin yang terbaik bagi generasi penerus bangsa. Saya tidak ingin kejadian yang menimpa saya dan teman-teman dengan permasalahan yang sama dirasakan oleh siswa lainnya. Kondisi pendidikan hingga kini masih ibarat sebuah ember yang diisi oleh berbagai jenis cairan sehingga tercampur dan tidak bisa penuh hanya dengan satu fokus saja. Kualitas individu tiap siswa tentu berbeda-beda, jika terus dipaksakan seperti ini apakah Pemerintah masih menjamin pendidikan dapat tersebar secara merata? Semoga dengan tulisan ini bisa menyadarkan kembali akan pentingnya sebuah pendidikan yang tepat demi anak bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline