Lihat ke Halaman Asli

M. Iip Wahyu Nurfallah

ASN Pemerintah Kota Bima

Wewenang Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah oleh Peradilan Tata Usaha Negara

Diperbarui: 11 Februari 2024   20:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://mcmproperti.id

Keabsahan (legality) merupakan suatu hal yang harus dipenuhi dalam sebuah Keputusan Tata Usaha Negara. Apabila keabsahan tersebut tidak dipenuhi maka dapat meimbulkan sebuah akibat hukum dan sanksi tertentu. Dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara jis Pasal 52 dan 56 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan memuat bebeapa alasan untuk menggugat (beroepsgronden) pembatalan suatu Keputusan Badan atau Pejabat Pemerintah yaitu suatu keputusan yang tidak memenuhi persyaratan baik dari segi wewenang, prosedur dan subtansi yang tidak didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) dianggap merupakan sebuah keputusan yanh tidak sah atau dapat dibatalkan. Lalu bagamana dengan sertifikat hak atas tanah yang merupakan salah satu produk Keputusan Tata Usahan Negara, apakah memiliki makna pembatalan yang sama dengan pembatalan haka tau sertifikat lainnya yang sudah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam tinjauan hukum administrasi pertanahan terdapat beberapa norma hukum yang mengatur tentang pembatalan di antaranya PMDN Nomor 6 Tahun 1972, PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1999 dan terutama PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999. Dalam PMDN Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah tidak secara tegas menyebutkan pembatalan sertifikat hak atas tanah, namun pembatalan surat keputusan pemberian hak. Pasal 14 peraturan tersebut menyatakan bahwa Menteri Dalam negeri dapat membtalkan sesuatu hak atas tanah yang berakibat batalnya sertifikat. Dijelaskan dalam penjelasana secara autentik bahwa yang dimaksud dengan pembataan suatu hak dalam Pasal 14 PMDN tersebut merupakan pembatalan hak yang disebabkan penerma hak tidak memenuhi persyaratan atau adanya kekeliruan dalam surat keputusan pemberian haknya. Pasal tersebut juga memberikan penjelasan bahwa pembatalan hak berbeda dengan makna pencabutan hak. Pembatalan suatu hal tersebut disebabkan karena penerima hak tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam surat keputusan pemberian haknya atau adanya kekeliran dalam surat keputusan tersebut.

Berdasarkan hal diatas, maka yang dimaksud dengan pembatalan merupakan pembatalan suatu hak yang disebabkan penerima hak tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam surat keputusan pemberian haknya atau terdapat kekeliruan dalam surat keputusan tersebut. Dengan dibataklan surat keputusan tersebut akan berakibat batalnya sertifikat hak atas tanah. Ketentuan ini lebih menekankan kepada kewenangan dari Menteri BPN untuk membatalkan surat keputusan hak atas tanah yang diterbitkan karena adanya cacat hukum administrasi. Persoalan yuridisnya adalah Pasal 14 dan penjelasannya mengenai salah satu sebab batalnya sertifikat dikarenakan "Penerima hak tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam surat keputusan pemberian haknya". Apakah mungkin sertifikat hak atas tanah dapat terbit apabila penerima hak belum memenuhi persyaratan dan kewajiban yang ditentukan dalam surat keputusan tersebut.

Dalam pasal 1 angka 12 PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1999, dinyatakan bahwa pembatalan keputusan pemberian hak adalah pembatalan keputusan mengenai pemberian suatu hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum dalam penerbitannya atau pembatalan tersebut dilakukan dalamangka melaksanakan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sama seperti peraturan sebelumnya, dalam  peraturan ini pembatalan hak dikonstruksikan sebagai pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah karena adanya cacat hukum dalam penerbitannya atau karena melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Berdasarkan uraian di atas,pembataln yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintah dapat disebabkan karena, pertama, diketahuinya surat keputusan (bukan sertifikat) terdapat cacat hukum dalam penerbitannya. Kedua, melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketiga, pembataln dalam PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999 tidakhanya pembatalan terhadap surat keputusan maupun dalam rangka melaksanakan putusan pengadilan yang sudah in kracht, namun lingkupnya termasuk sertifikat hak atas tanah, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 angka 14 bahwa pembatalan hak atas tanah adalah pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh  kekuatan hukum tetap.

Berdasarkan kontruksi hukum tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan pembatalan hak atas tanah adalah suatu tindakan atau perbuatan hukum dari badan atau pejabat pemerintah yang bertujuan membatalkan tindakan atau perbuatan hukum badan atau pejabat pemerintah sebelumnya dengan objek surat keputusan atau sertifikat hak atas tanah. Alasan pembatalan karena adanya cacat hukum administrative atau melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Makna pembatalan dalam peraturan tersebut yaitu bahwa pembatalan hak atas tanah juga dimaknakan termasuk pembatalan sertifikat hak atas tanah. Sehingga dengan demikian setifikat hak atas tanah juga merupakan bagian dari Produk Keputusan Tata Usaha Negara.

Untuk lebih jelasnya mengenai lingkup pembatalan haka tau sertfikat hak atas tanah dapat dilihat dalam Pasal 104 pada PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999 yang menjabarkan tentang lingkup dari pembatalan hak atas tanah sebagai, pembatalan hak atas tanah yang meliputi pembatalan keputusan pemberian hak, sertifikat hak atas tanah dan keputusan pemberian hak dalam rangka pengaturan penguasaan tanah dan pembatalan tersebut diterbitkan apabila terdapat cacat hukum administrasi dalam penerbitan keputusan pemberian dan/atau sertifikat hak atas tanahnya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Berdasarkan uraian diatas, maka pembatalan sertifikat hak atas tanah dan akibat hukum terhadap hak atas tanah oleh Peradilan Tata Usaha Negara difokuskan pada pengkajian pembatalan sertifikat tersebut melalui studi kasus dengan melihat pertimbangan hukum (ratio decedendi) dan fakta materiil yang menjadi alasan hukum bagi hakim dalam putusan perkara kasus-kasus sengketa pembatalan. Khususnya dalam kasus yang berkaitan dengan aspek wewenang, prosedur dan subtansi Keputusan Tata Usaha Negara.

Salah satu aspek utama dalam keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan badan atau pejabat pemerintah adalah aspek wewenang, yang berarti tindakan atau perbuatan hukum badan atau pejabat pemerintah dalam menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan berwenang untuk itu. Makna dari wewenang atau kompotensi secara umum dapat diartikan sebagai suatu hak untuk bertindak atau suatu kekuasaan untuk membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Dasar pemberian wewenang terbagi menjadi tiga yaitu atributif atau wewenang yang diberikan oleh/berdasarkan undang-undang, delegasi yaitu wewenang yang diberikan oleh pemlik wewenang yang sah untuk menjadi tanggung jawab si penerima wewenang dan mandat yaitu wewenang yang diberikan oleh atas kepada bawahan tanpa diikuti dengan beban pertanggungjawaban. Wewenang atributi dan delegasi mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam mengetahui kedudukan badan atau pejabat pemerintah pada saat mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara sehingga keputusan yang dikeluarkan memiliki keabsahan. Apabila terdapat kekuarangan pada wewenang yang menjadi dasar dari keputusan tersebut maka hal itu dapat menjadi dasar bagi Peradilan Tata Usaha Negara dalam batas wewenangnya untuk memeriksa keputusan tersebut dan mengeluarkan putusan pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara karena ditemukan cacat wewenang dalam penerbitannya.

Kemudian, aspek prosedur hukum juga merupakan salah satu syarat penting yang harus dipenuhi oleh suatu keputusan yang diterbitkan oleh badan atau pejabat pemerintahan. Dalam pasal 53 ayat (2) a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 jo Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 menyebutkan bahwa salah satu alasan yang dapat digunakan dalam gugatan adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan dalam pasal ini menyatakan bahwa suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat dinilai bertentangan apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat procedural. Dengan demikian aspek prosedur hukum merupakan salah satu yang menjadi dasar keputusan tersebut digugat dalam Peradilan Tata Usaha Negara untuk membatalkan sertifikat hak atas tanah disebabkan badan atau pejabat pemerintah telah melakukan perbuatan hukum mengeluarkan keputusan karena ada kesalahan prosedur dalam penerbitannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline