Mereka Bilang, Saya Monyet merupakan kumpulan cerpen karya Djenar Maesa Ayu yang berisi 11 cerpen dengan judul: Mereka Bilang, Saya Monyet!, Lintah, Durian, Melukis Jendela, SMS, Menepis Harapan, Waktu Nayla, ... Wong Asu, Namanya ..., Asmoro, Manusya dan Dia. Tak sekedar menjadi kumpulan cerpen saja, tetapi menjadi inspirasi sebuah film. Mereka Bilang, Saya Monyet! berhasil menjadi film disutradarai oleh pengarangnya sendiri yaitu Djenar. Film ini berhasil meraih perhatian media massa, bahkan menyabet beberapa penghargaan pada festival bergengsi di dunia, seperti Indonesian Movie Award 2008 (Winner for the Best Actress, Winner of The Best New Comer Actress, Nominated as The Most Favorite Movie), Singapore International Film Festival 2008 (Nominated as The Best Asian Feature Film, Silver Screen Award), Osian's Cinefan International Film Festival (Nominated as The Best First Feature Film), dan Hongkong International Film Festival 2008 (Official Selection). Djenar pun mendapat Piala Citra dari kategori Skenario Adaptasi Terbaik dan sebagai Sutradara Baru Terbaik pada Festival Film Indonesia 2009.
Secara garis besar, penulis menangkap isu utama atau tema yang diangkat oleh Djenar pada kumpulan cerpen ini adalah persoalan feminisme dan ketidak adilan antar gender. Djenar mengangkat sebuah garis besar konflik dengan gaya bahasanya yang lugas dan langsung menusuk pokok permasalahan, dimana secara garis besar memaksa kita melihat realitas yang tak sesuai dengan nilai nilai moral yang ditanamkan sejak kecil, Djenar mengemas semua hal yang lazimnya tabu untuk dibahas lalu mengenalkannya dengan metafora unik, yang membuat pembaca berusaha menebak-nebak dan memberikan sedikit efek "puas" saat akhirnya mampu menebak metafora yang dimaksud, bahkan hampir seluruh cerpen mengandung unsur pelecehan seksual bagi perempuan, mulai dari cerpen "Lintah" , "Durian", "Melukis Jendela", "Wong Asu" dan judul-judul lainnya. Selain pelecehan seksual, juga ada absurditas manusia yang diselipkan Djenar dalam tiap cerpennya, seperti manusia dengan tubuh hewan seperti bayangan tokoh pada cerpen "Mereka Bilang, Saya Monyet!", perilaku obsesif pada durian emas yang berujung anggapan jika ia memakan durian itu maka anaknya akan terkena penyakit kusta pada cerpen "Durian", perselingkuhan pasangan yang ditunjukkan lewat balasan-balasan SMS yang terkesan saling menutupi, bahkan kerusakan moral yang diceritakan pada cerpen "Wong Asu" yang berkesan bahwa segala hal "anjing" yang dilakukan merupakan hal yang lumrah, dan berbagai kasus pelecehan, feminisme, patriarki, dan absurditas yang terdapat pada berbagai cerpen di buku ini
Kesimpulan yang dapat penulis tangkap dari buku ini adalah Djenar mampu mengangkat isu-isu yang bahkan masih terkesan tabu dalam masyarakat, walau cerita yang diangkat berbeda-beda namun ada pola yang sama dan berulang pada tiap cerpennya seperti pelecehan, unsur kemunafikan dan absurditas manusia, unsur feminisme yang kental juga menjadi ciri khas dari karya Djenar ini, sehingga buku ini tidak hanya kontroversial dalam segi bahasa namun juga sarat akan makna. Dibalik romansa gelap yang dibungkus metafora apik, dibalik judul dan isi yang berkesan vulgar, provokatif, dan rancu Djenar berhasil menggaet hati pembaca terutama kalangan sastra yang tidak asing dengan karya yang berbau hal-hal vulgar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H