Lihat ke Halaman Asli

Choirul Rosi

Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Novel | Teana - Dalath (Part 23)

Diperbarui: 2 September 2018   12:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.deviantart.com

Kabar kematian sang pendeta telah menyebar ke penjuru Kota Hegra. Para penduduk mendatangi Kuil Al Khuraimat untuk memberikan penghormatan terakhir. Pelataran Kuil nampak seperti lautan manusia berjubah putih. Diantara lautan manusia itu terlihat beberapa anggota keluarga Raja Aretas IV yang juga turut memberikan penghormatan terakhir bagi sang pendeta.

Pagi itu, tulang belulang sang pendeta telah dibersihkan dari debu. Dibungkus dalam kain putih yang telah ditetesi oleh minyak wangi Myrrh dan dimasukkan kedalam peti kayu. Tulang belulang sang pendeta telah siap untuk disemayamkan di Pegunungan Al Khuraimat. Sebuah pegunungan berbatu cadas yang sejak dahulu telah digunakan penduduk Kota Hegra untuk menyimpan tulang belulang para penduduk Hegra yang telah meninggal.

"Ini adalah makam yang dibuat oleh Arwas, putra Farwan, Pada bulan Nisan pada tahun tiga puluh enam Aretas, Raja Nabataea, yang mencintai rakyatnya. Dibuat oleh Aftah putra Abdobodat dan Huru putra Uhayyu, seorang bangsawan Nabataea. Semoga Dewa Dhushara melindungi mereka."

Begitulah bunyi tulisan yang ada di salah satu bagian dinding didalam ruangan itu. Dipahat oleh pemahat khusus kerajaan dengan menggunakan bahasa Aram. Di sekeliling tulisan itu dihiasi dengan pahatan bunga -- bunga zaitun dan dedaunan pohon kurma. Sesuai dengan statusnya sebagai seorang keturunan bangsawan Nabataea, tulang belulang sang pendeta disemayamkan di tempat yang cukup tinggi diatas Pegunungan Al Khuraimat.

Upacara penghormatan terakhir segera dilaksanakan. Beberapa pendeta telah siap dengan peralatan ritual mereka. Sebuah cawan keramik putih, lonceng kecil dan sebuah mangkuk besar berisi aneka buah -- buahan telah disiapkan oleh mereka.. Diletakkan berjejer diatas kain putih yang digelar tak jauh dari makam. Beberapa anggota keluarga kerajaan ikut hadir disana. Dengan dipimpin pendeta Al Khuraimat, ritual penghormatan terakhir itu berlangsung cukup khidmat.

Menjelang senja, ritual telah selesai. Cahaya matahari menembus pintu makam. Menerangi seisi makam dengan pendar warna kemerahan yang berasal dari pantulan cahaya dinding makam. Di salah satu ceruk di dinding itu, berbaringlah tulang belulang sang pendeta yang ditemani oleh peralatan makan dan minum terbuat dari emas dan perak serta seikat dupa myrrh yang nampak masih mengepulkan asap.

Para pengiring dan anggota keluarga kerajaan bersiap untuk meninggalkan lokasi pemakaman. Sedangkan para pendeta sibuk mengemasi barang -- barang mereka. Mereka akhirnya pulang saat malam tiba.

Malam itu Taw tidak bisa memejamkan mata. Luka di lengan kanannya terasa amat perih. Sabetan jambia milik Rashad beberapa hari lalu telah merobek dagingnya cukup dalam sehingga darah tidak berhenti mengalir hingga sekarang. Berbagai cara telah Taw lakukan untuk menghentikan pendarahan itu. Hingga akhirnya datanglah anak buah Taw memasuki tenda, ia membawa ramuan dedaunan sebagai obat. Ia mengoleskan ramuan itu dan menutup luka di lengan Taw dengan selembar kain. Darah di lengan Taw berangsur -- angsur mulai berhenti keluar.

                   "Apakah kau mengenal rombongan kemarin? Siapa

                   mereka?" tanya Taw.

                   "Tidak Tuan Taw, hamba tidak mengenal mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline