Lihat ke Halaman Asli

Choirul Rosi

Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Peri Segaran

Diperbarui: 17 Januari 2017   18:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Javanese dancer painting source : Dokumen pribadi

Senja itu sangat jingga. Berbeda dari kemarin – kemarin. Mungkin karena pergantian musim yang tak menentu. Kadang panas kadang hujan. Kadang berangin kadang tenang.

Semua serba tak pasti.

“Sepertinya tangkapanku kali ini akan nihil.” gumam Supardi dalam hati. Lelaki paruh baya itu merengut sambil menengok jala kecil yang ia tenggelamkan sedikit di kolam. Kosong tanpa isi.

Kepalanya menengadah ke langit yang perlahan mulai gelap. Matanya yang sayu seolah - olah bercakap – cakap dengan langit.

“Wahai penghuni langit, mengapa hari berlalu secepat ini? Seakan – akan kau tak membiarkanku untuk menang melawan senja. Mengapa selalu saja begitu? Sedangkan nasibku selalu saja begini – begini saja. Selalu diam tak bergerak sedikitpun.” gerutunya.

Matahari perlahan turun.

***

Sudah seminggu ini ikan yang mengisi jala miliknya cuma sedikit. Hanya beberapa ekor ikan yang sudi mampir kedalam jalanya.

Hari ini lima ekor yang didapat oleh Supardi. Kemarin tiga ekor. Dalam minggu ini tak pernah ia mendapatkan ikan lebih dari tujuh ekor. Kalaupun dapat, itupun ikan kecil – kecil semua. Dan tak pernah lebih dari lima ekor.

Dengan wajah lesu, Supardi beranjak dari tempat duduknya setelah ia membereskan peralatan memancingnya.

“Aaah… Lebih baik aku pulang saja. Lebih baik mendapat ikan kecil daripada tidak dapat ikan sama sekali. Aku sudah siap mendengar omelan Sartini nanti.” gerutu Supardi dalam hati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline