Lihat ke Halaman Asli

Choirul Rosi

Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Wanita Bermulut Tiga

Diperbarui: 25 April 2016   13:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="mulut tiga - weheartit.com editedi"][/caption]Seperti yang biasa dilakukannya dulu. Bahkan setelah kepindahannya ke Desa Kepuhanyar, kebiasaan itu belumlah lenyap dari mulutnya. Bak pohon, semakin disiram semakin subur saja. Tumbuh melebat diantara kedua belahan bibirnya yang sangat tipis dan tajam itu. Setajam pisau belati.

“Apakah kau sudah mendengar khabar dari Siti Aisyah?”

“Perihal apa Cik?”

“Mmm… belumkah aku fatwakan kepadamu perihal kehamilannya yang janggal itu ?”

“Janggal maksudnya?”

“Lelaki yang baru saja dinikahi Siti Aisyah bukanlah bapak dari si jabang bayi”.

Begitulah, setiap ada ikhbar baru di kampung itu. Sudah dapat dipastikan fatwa itu selalu dari Cik Rina. Tak satupun rahasia penduduk desa yang tidak diketahui oleh Cik Rina.

Karena Cik Rina maha tahu, jadi saranku berhati – hatilah dengannya. Agar rahasiamu tidak dijadikan aib olehnya.

Wanita setengah abad itu terkenal akan bibirnya yang merah jingga. Sangat merona indah karena sari sirih yang tiap sore disapukan dengan lembut dan telaten diatas kedua bibirnya.

Seperti kebiasaan para wanita di Desa Kepuhanyar. Wanita – wanita disana selalu menyapu kedua bibir mereka dengan sari sirih selepas mandi sore. Adat nenek moyang katanya. Sehingga semua wanita di desa itu terkenal akan bibirnya yang indah. Pun demikian dengan Cik Rina. Namun keindahan bibir Cik Rina tak seindah kata – kata yang terlantun dari mulutnya.

“Mau kemana awak sore menjelang petang begini? Tak baik bagi perawan seperti awak keluar saat senja” tegur Cik Rina sore itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline