Lihat ke Halaman Asli

Choirul Rosi

Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Randu Tua

Diperbarui: 20 April 2016   11:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Randu Tua source sharontenenbaum.com/sample-page/trees/"][/caption]

Tahukah kau hidup? Hidup adalah serangkaian masalah yang harus ditempuhi manusia. Bak sebuah mata rantai yang berkaitan satu sama lain. Masalah kecil hingga besar. Masalah mudah hingga sukar. Masalah rumit hingga melilit.

Mahu tidak mahu mereka harus terus bertahan hidup untuk menghadapi itu semua. Bertahan menghadapi berbagai cobaan yang menjerat mereka. Mencekik erat kerongkongan hingga nafas sedetik sangat berharga artinya. Mari, aku ikhbarkan cerita ihwal kehidupan anak manusia yang mungkin pernah kalian rasai dalam hidup.

Sore itu kulihat seorang anak kecil pergi mengaji. Berjalan pelan di depanku. Aku hanya mampu memandanginya saja. Tak mampu bertegur sapa dengannya. Dengan songkok terpasang di kepalanya, sajadah bergelantung di pundaknya. Sangat santun perangainya. Wajahnya memancarkan cahaya. Penuh keteduhan bagi yang melihatnya.

Jemari kecilnya terus memutar tasbih dalam genggaman. Bibir mungilnya bergamitan satu sama lain. Melafalkan asma – asma Allah. Lirih. Namun bagiku terdengar sangat lantang dan penuh kekhusyukan.

Ya latief… Ya jabbar… Ya Quddus…

Begitulah yang sering aku dengar. Suaranya menggetarkan semesta. Menyejukkan alam.  Menyejukkan jiwa – jiwa yang kekeringan akan kasihNya.

Hari bertukar bulan. Bulan bertukar tahun. Dari musim kemarau bergulir ke musim kemarau lagi. Selama itu pula tak kudengar khabar darinya.

Hingga suatu ketika dari kejauhan kulihat sesosok pria setengah baya. Berjalan terhuyung – huyung tak seimbang. Dibawah bayang senja aku melihatnya. “Hei… apakah dia yang kulihat dahulu? Tapiiii… Mengapa dia berubah kini? Tak ada songkok dikepalanya, tak ada sajadah menggantung di pundaknya dan tak kudengar asma Allah melantun indah dari mulutnya”.

Songkok yang dulu, kini berubah jadi ikat kepala. Sajadah harum itu kini berganti kain kusam yang melilit lehernya. Dan yang paling membuatku miris adalah kata – kata yang keluar dari mulutnya. Bukan kata pujian melantun seperti yang dulu aku dengar. Namun kata – kata umpatan dan sumpah serapah.

Sayup – sayup lewat hembusan bayu kudengar dia mengumpat kehidupannya yang hina dina. Merutuki takdirnya yang tak bahagia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline