Lihat ke Halaman Asli

M AbdurrahiimRasyiid

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Teori Konflik Menurut Lewis A. Coser

Diperbarui: 1 November 2023   01:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamera pribadi

Setiap hari Kamis malam atau lebih tepatnya malam Jum’at saya memiliki rutinan olahraga yakni badminton. Dalam permainan badminton terdapat dua jenis permainan, yakni permainan tunggal (single) dan permainan ganda (double). Di dalam suatu permainan ganda secara otomatis akan terbagi menjadi 2 kelompok yang akan bertanding, untuk satu kelompok terdiri dari 2 anggota. Antara kelompok satu dan kelompok lainnya akan bertanding untuk membela kelompoknya masing-masing agar dapat memenangkan pertandingan. Saya sebagai salah satu anggota dalam kelompok olahraga badminton tersebut memandang menggunakan kacamata sosiologis bahwasannya dalam suatu pertandingan badminton terdapat konflik antara 2 kelompok yang sedang bermain. Akan tetapi situasi ini justru yang nantinya akan mendorong adanya hubungan yang lebih intim antar anggota kelompok yang sedang bermain tersebut. Menurut saya secara pribadi pertandingan diatas merupakan salah satu contoh dari teori KONFLIK yang mana teori konflik menjelaskan bahwa ketika terjadi persaingan atau konflik antara kelompok satu dengan kelompok lainnya tentu saja akan menghasilkan solidaritas yang lebih intim antar anggota kelompok yang sedang bersaing tersebut.[1]

Saya mengetahui teori konflik yang dikemukakan oleh Lewis A. Coser dari jurnal yang ditulis oleh beliau dengan judul “Social Conflict and The Theory of Social Change” (1957) dan juga dari bukunya yang berjudul “ The Function of Social Conflict” (1956). Dalam jurnal ini dijelaskan bahwasannya konflik menurut Lewis A. Coser sebagai suatu proses instrumental dalam pembentukan, penyuatuan, dan pemeliharaan struktur sosial. [2] Coser juga berpendapat bahwa konflik dapat menempatkan serta menjaga garis diantara dua kelompok atau lebih. [3] Dalam suatu kelompok tertentu terdapat garis batas dengan kelompok yang lainnya. Garis batas inilah yang akan diperkuat atau akan menjadi kuat apabila terjadi konflik diantara dua kelompok yang berbeda. Konflik antara kelompok satu dengan yang lain tentu saling berkaitan dan saling mengukuhkan serta menguatkan identitas ataupun solidaritas antar kelompok. 

Coser membagi konflik menjadi 2 jenis yakni konflik realistis dan konflik non-realistis[4] :

  • Konflik realistis
  • Konflik realistis timbul karena adanya kekecewaan terhadap suatu pihak tertentu yang memaksa suatu kaum untuk mengeluarkan tuntutan-tuntutan yang tentu saja menguntungkan bagi mereka.
  • Konflik non-realistis
  • Konflik non-realistis dapat diartikan sebagai bentuk konflik yang mana bukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu, akan tetapi lebih menekankan untuk mengurangi ketegangan yang terjadi karena ketidakmampuan suatu kelompok sosial tertentu untuk membalaskan dendam pada kelompok tertentu. Seperti halnya pengkambinghitaman karena kalah dengan kelompok yang lain.

Dari sini saya memahami bahwa teori konflik yang dikemukakan oleh Lewis A. Coser ini sedikit berbeda dengan teori konflik milik Karl Marx. Walaupun sumber awal teori ini juga pada pemikiran marx akan tetapi Coser mengembangkan konsep tersebut dan menemukan bahwa konflik dalam pandangan sosiologi bukan hanya memiliki efek negatif saja, akan tetapi juga memberi dampak positif yang akan menguntungkan bagi masyarakat. Mengutip hasil pengamatan yang dilakukan oleh Simmel terkait peredaan ketegangan dalam suatu kelompok tertentu, Coser menyimpulkan bahwa peningkatan konflik oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat berbanding lurus dengan integrasi antar kelompok tersebut. [5] Semakin sering terjadi konflik satu kelompok dengan kelompok lain justru memperkokoh integritas antar anggota pada masing-masing kelompok. Dalam perpektif yang lebih umum seringkali konflik disamakan dengan hal-hal yang bersifat negatif, walaupun sebenarnya terjadinya konflik memang bukanlah sesuatu yang banyak menguntungan tetapi sebagai seorang pengamat sekaligus sosiolog kita tidak boleh melakukan judments terhadap suatu fenomena sosial tertentu. Dari seatu masalah pun terkadang terdapat sisi positif yang dapat diambil. Coser juga menjelaskan bahwa suatu konflik akan lebih rentan terjadi pada hubungan-hubungan yang bersifat sekunder dan masih belum mencapai pada tingkatan intim.[6] Hubungan-hubungan seperti teman sekelas ataupun teman kerja biasanya rentan terhadap konflik. Berbeda dengan relasi pertemanan yang sudah berteman selama lebih dari 10 tahun. Relasi ini biasanya cenderung menekan emosi mereka masing-masing daripada meluapkannya secara langsung. Disini kita mengetahui bahwa konflik lebih sering terjadi karena hubungannya yang masih bersifat formal dan hanya sebatas status sosial tertentu belom merambah kepada sesuatu yang lebih bersifat primer.

Coser membagi konflik menjadi beberapa kategori, kategori yang pertama yakni konflik realistis dan non-realistis. Dalam pemahaman saya konflik realistis timbul atas dasar kekecewaan pada suatu tuntutan khusus dalam suatu hubungan sosial. Dapat dicontohkan seperti misal buruh pabrik yang melakukan aksi mogok kerja karena menuntut perusahaan agar mau menaikkan upah mereka. Dalam konteks ini kaum buruh menyuarakan tuntutan khusus mereka yakni berupa kenaikan upah. Sebaliknya, konflik non-realistis lebih berfokus pada konflik yang digunakan untuk meredakan ketegangan yang sedang terjadi. Seperti dicontohkan apabila suatu kelompok tertentu kalah dalam perang ataupun memiliki musuh yang tidak sepadan, tentu saja aka nada beberapa lapisan yang disasar sebagai pengkambinghitaman guna untuk mengurangi atau meredakan adanya ketegangan yang sedang terjadi.

Selain konflik realistis dan non-realistis, Coser juga membagi konflik in-group dan out-group. [7] Konflik in-group dapat dipahami sebagai konflik yang terjadi dalam suatu kelompok sosial tertentu dan masih dalam ruang lingkup kelompok tersebut. Seperti konflik yang terjadi didalam kelas yang mana hanya terbatas dalam lingkup ruang kelas saja. Sedang konflik out-group adalah konflik antara anggota kelompok satu dengan anggota kelompok lain. Misal tawuran yang terjadi antara anggota geng sekolah satu dengan geng sekolah lainnya. 

Teori konflik ini digagas atau diusung oleh Lewis A. Coser, seorang sosiolog yang lahir di Berlin, Jerman pada tahun 27 November 1913 lebih tepatnya setelah terjadinya perang dunia kedua. Beliau lahir dari pasangan Ludwig Alfred dan Rose Laub.[8]  Coser meninggal pada 08 Juli 2003 di Cambridge, Massachusetts di usianya yang ke-89 tahun. Ia merupakan seorang sosiolog Amerika dan merupakan presiden di ASA (American Sosiologycal Assosiation). [9] Beliau menjabat sebagai presiden ASA selama 66 tahun. Coser sendiri mendapat gelar Ph.D nya di Universitas Columbia sekitar tahun 1968. Beliau juga merupakan seorang guru besar di Universitas Bramdeis. Coser banyak mengutip hingga mengembangkan pemikiran-pemikiran Georg Simmel untuk meneliti konflik baik dalam tingkat micro hingga pada tingkat macro. Selain itu Coser juga banyak mengkritisi para tokoh sosiolog baik tokoh klasik maupun modern terkait konflik yang hanya mengakibatkan dampak negatif saja. Coser menekankan bahwa konflik memiliki fungsi tersendiri yang bekerja pada satu kelompok tertentu maupun kelompok yang lain. Tulisan Coser yang paling fenomental berjudul “Greedy Institutions” yang menjelaskan tentang kehidupan tanpa pandang bulu. Pemikiran-pemikiran Coser banyak dipengaruhi oleh George Simmel dan juga beliau seringkali mengkritisi para sosiolog yang kurang memperhatikan konflik yang mana konflik sendiri merupakan bagian dari masyarakat.

Daftar Pustaka

Bima Setiyawan, K. (2018). LEWIS COSER BIOGRAPHY. https://www.researchgate.net/publication/327497761

Coser A. Lewis. (1956). The Function of Social Conflict. Free Press.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline