Wedang uwuh adalah minuman dengan bahan-bahan berupa dedaunan mirip sampah. Dalam bahasa Jawa, wedang berarti minuman, sedangkan uwuh berarti sampah. Dua kalimat mengenai wedang uwuh tersebut saya kutip dari Wikipedia. Sejauh pengetahuan saya, wedang uwuh merupakan minuman khas Yogyakarta. Minuman ini berasal dari Imogiri dan mulai dikenal sejak masa Sultan Agung pada abad 17 masehi.
Pada mulanya, wedang uwuh dikenal dengan nama wedang ningrat. Sesuai namanya, minuman ini hanya dikonsumsi oleh kalangan bangsawan atau ningrat Mataram. Bahan-bahan untuk membuatnya pun harus diambil dari bukit di sekitar makam raja-raja Mataram di Pajimatan Imogiri. Proses peracikannya sangat ketat. Tidak sembarang orang boleh meraciknya. Namun seiring perkembangan zaman, nama wedang ningrat justru kurang populer. Kini minuman para bangsawan Mataram ini lebih populer di tengah masyarakat dengan nama wedang uwuh.
Minuman ini kini telah diproduksi secara massal dan dikenal luas. Bahan-bahan yang digunakan adalah: jahe, cengkeh, bunga cengkeh, batang cengkeh, daun cengkeh, kayu secang, pala, daun pala,kayu manis, daun kayu manis, akar sereh, daun sereh, gula batu, dan kapulaga. Cara meraciknya pun sangat mudah. Bahan-bahan racikannya bisa diperoleh dengan sangat mudah dimana saja. Bahkan kini bahan-bahannya sudah banyak tersaji dalam bentuk kemasan yang banyak dijual di marketplace.
Itulah sekelumit pengetahuan saya tentang wedang uwuh. Referensi mengenai wedang uwuh, sejauh penelusuran saya di internet, lebih banyak mengekspose minuman ini sebagai obyek wisata kuliner juga segi manfaat atau khasiat kesehatan yang terkandung di dalamnya. Masih sedikit referensi yang mengupas latar belakang sejarah serta budayanya secara lengkap. Padahal setiap produk budaya, termasuk wedang uwuh, tidak pernah terlepas dari pandangan hidup (way of life) masyarakat yang menciptakannya. Maksudnya, wedang uwuh sebagai produk budaya kuliner tradisional yang sudah berusia ratusan tahun tentu banyak menyimpan kekayaan dimensi rahasia seni kuliner.
Ngomong-ngomong soal seni kuliner, saya jadi teringat tulisan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) di Rubrik Wedang Uwuh Harian Kedaulatan Rakyat. Di rubrik wedang uwuh Cak Nun pernah menulis begini, "Yang tetap survive bahkan mengalami kebangkitan adalah seni kuliner," (Seni Kuliner, Wedang Uwuh, 14 Februari 2017). Di tengah gempuran arus industri dan kapitalisme global saat ini, industri kuliner lokal justru makin berkembang. Wedang uwuh hanyalah satu dari sekian banyak seni kuliner lainnya di Nusantara yang tetap berkembang di tengah gempuran produk kuliner modern yang saat ini membanjiri pasar.
Kuliner bisa sampai menjadi produk seni tentu mengalami pengolahan yang luar biasa. Wedang uwuh yang mencampur bermacam-macam bahan ke dalam satu gelas minuman untuk diseduh secara nikmat mengalami pengolahan nuansa rasa yang tinggi. Cak Nun membahasakan dengan baik proses kreativitas orang Jawa mengubah berbagai olahan makanan yang namanya tidak sreg tetapi mampu menyelaraskan nuansa kebudayaannya. "Manusia Yogya atau Jawa melakukan revolusi kreativitas kuliner yang luar biasa. Bayangkan konsumen disuruh minum uwuh. Padahal uwuh adalah sampah. Dan semua merasa nikmat. Padahal orang mau minum sesuatu, urusannya tidak hanya menyangkut bahan atau zat cairan yang diminumnya. Tapi juga estetikanya, 'roso'nya," (Trash Drink dan Iblis Penyet, Wedang Uwuh, 27 Desember 2016).
Maka, dari berbagai olahan kuliner yang ada di sekitar masyarakat Jawa, kita bisa mengeksplore banyak sekali makna untuk disajikan menjadi menu ilmu. Misalnya selain wedang uwuh, masyarakat kita masih memiliki dimensi keunikan dan kekayaan kuliner yang lain: rondo kemul, kontol kambing, bol cino, pempek rudal, oseng-oseng mercon, dan rawon setan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H