Lihat ke Halaman Asli

Impostor Demokrasi di Pemilu 2024

Diperbarui: 7 Desember 2023   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Impostor. Sumber Ilustrasi: stock.adobe.com

Suara-suara skeptis menjelang Pemilu 2024 agaknya kian menyeruak di ruang publik terutama di media sosial. Banyak netizen yang mengatakan bahwa pemilu 2024 terutama pilpres, agaknya kurang begitu menarik. Pemilu kali ini seperti pemilu medioker, begitu kata mereka. Banyak yang menganggap wacana-wacana yang dijanjikan kontestan pemilu kali ini sebagian besar tidak menyentuh persoalan substansial atau minimal secara subyektif tidak menyentuh persoalan yang dihadapi banyak orang hari ini. 

Kalaupun ada yang menyentuh persoalan basic dan substansial tetap saja tidak begitu jelas bagaimana wacana yang dijanjikan itu bisa diimplementasikan karena tradisi dan ruang dialog kita yang masih sangat terbatas untuk menguji janji-janji wacana itu secara terukur.

Pemilu 2024 juga penuh dengan kegaduhan dan kontroversi yang kontraproduktif. Alih-alih bertanding dan beradu gagasan justru yang lebih tampak di permukaan adalah gimmick-gimmick hingga saling buka kartu blunder politik kontestan dan pendukungnya di masa lalu. 

Memang Pemilu 2024 sudah tidak lagi berkutat pada ilusi untuk memilih lesser evil tetapi justru beralih pada sikap antipati seperti "pokoknya yang penting jangan pilih yang itu atau yang ini," blablabla. Sikap antipati terhadap kandidat tidak selalu didasari pertimbangan rasional tetapi seringkali berangkat dari berbagai pertimbangan irrasional. Katakanlah seperti sentimen like-dislike atau juga citra demonisasi yang melekat pada kandidat yang masih diungkit terkait jejak reputasi buruk di masa lalu yang tidak bisa dimaafkan begitu saja.

Pemilu 2024 juga menjadi sangat berbeda dari pemilu sebelumnya (2019) karena kali ini suara generasi muda terutama Gen-Z menjadi ceruk suara yang sangat besar yang pastinya menjadi incaran para kontestan pemilu. Berbagai modus komunikasi melalui branding personality hingga pencitraan kontestan pemilu di media sosial akhir-akhir ini terlihat sangat massif. Namun sayangnya apa yang disampaikan kepada Gen-Z justru bukan berupa gagasan-gagasan substansial minimal menyangkut masa depan mereka tetapi kebanyakan justru berupa gimmick-gimmick artifisial yang tidak terkait langsung dengan persoalan-persoalan bangsa yang urgen.

Branding personality pada salah satu kandidat dengan label gemoy atau jargon politik riang gembira jelas tidak menyentuh tujuan substansial dari pemilu itu sendiri. Seharusnya komunikasi kandidat pemilu yang secara resmi diwadahi melalui kampanye di hadapan publik lebih menonjolkan pertandingan gagasan dengan menguji visi apa yang hendak dilakukan jika nantinya terpilih dan diberikan mandat oleh publik. Melalui pengujian visi dan misi kandidat daripada branding personality yang tidak substansial jelas akan memberikan suatu alasan rasional kepada publik untuk memilih salah satu kandidat berdasarkan pertimbangan visi-misi bukan atas dasar pencitraan diri yang tidak substansial. Dengan demikian publik tidak akan disuguhi dengan pilihan yang tersamar seperti membeli kucing dalam karung.

Pemilu 2024 semestinya lebih dillihat sebagai ajang kompetisi kandidat berdasarkan kapabilitas dan kompetensi bukan berdasarkan gimmick dan kuatnya logistik. Pun juga seharusnya pemilih yang rasional tidak mudah terpengaruh oleh elektabilitas kandidat (apa bedanya dengan orang Fomo) tetapi lebih terpengaruh oleh kapasitas dan kapabilitas kandidat. Maka pemilih yang rasional tidak mudah terpengaruh oleh branding personality yang artifisial tetapi lebih terpengaruh oleh rekam jejak dan visi-misi yang ditawarkan kandidat.

Demokrasi yang substansial (bukan prosedural) mestinya berlandaskan kepada etika publik dan meritokrasi. Etika publik dalam negara demokrasi memang tidak tertulis dan tidak ada sanksi hukum yang eksplisit. Namun pelaksanaan etika adalah cermin dari kualitas integritas dan reputasi seseorang begitupun sebaliknya, pengabaian etika adalah cermin dari rendahnya integritas dan reputasi seseorang.

Maka dalam konteks Pemilu 2024, manifestasi etika publik menjadi sangat penting terkait dengan integritas kandidat dalam menunaikan mandat demokrasi di pundaknya. Bagaimana common sense dan adab kandidat menghindari syubhat-syubhat politik seperti persoalan konflik kepentingan (conflict of interest). Santer terdengar bahwasanya mobilisasi alat-alat negara berpotensi menjadi amunisi yang menguntungkan salah satu kandidat karena tidak adanya demarkasi dan parameter etis (bukan hanya hukum normatif) yang jelas bagaimana semestinya aparatur negara menjaga netralitasnya dalam pemilu.

Etika publik dalam konteks pemilu 2024 juga agaknya terkait dengan persoalan meritokrasi dalam demokrasi yang diabaikan begitu saja. Memang secara normatif setiap warga negara berhak mencalonkan diri sebagai pejabat publik. Namun secara bersamaan juga berlaku etika publik mengenai adab kepantasan dan kelayakan seseorang sebagai calon pejabat publik yang disebut dengan meritokrasi. Ada banyak indikator dan variabel untuk mengukur kepantasan dan kelayakan seseorang sebagai pejabat public mulai dari rekam jejak, prestasi, integritas, kapasitas hingga kapabilitas seorang calon pejabat publik. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline