Lihat ke Halaman Asli

Orde Baru, Oligarki dan Matinya Demokrasi

Diperbarui: 25 Oktober 2023   08:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jenderal Soemitro sedang berpidato di depan massa saat terjadinya peristiwa Malari, 1974. Foto:Istimewa

Selama 32 tahun kekuasaannya yang menghegemoni, Orde Baru telah banyak meninggalkan pengaruhnya hingga kini. Pengaruh Orde Baru masih bisa kita temukan kini dalam wujud masih eksisnya sistem oligarki, korupsi dan kolusi yang mendominasi kehidupan politik di seluruh negara ini. Bagaimana Orde Baru membangun hegemoninya (bukan sekadar dominasi) yang mampu mempertahankan kekuasaannya hingga 32 tahun dan meninggalkan pengaruhnya hingga kini. 

Tentu untuk menjawab pertanyaan itu kita perlu menengok kembali sejarah awal Orde Baru di mana negara membangun kebijakan politiknya terhadap rakyat. Tentu juga berkaitan langsung dengan program depolitisasi rakyat sipil yang dirancang pemerintah Orde Baru secara sistematis (by design) dan berdimensi jangka panjang.

Gagasan dan Harapan Kepada Orde Baru

Keterpurukan ekonomi dan konflik politik berkepanjangan hingga berpuncak pada tragedi 30 September 1965 menjadi latarbelakang dan syarat objektif lahirnya Orde Baru. Para elit politik, militer dan intelektual yang mendukung lahirnya era baru, yang kemudian disebut, Orde Baru, menawarkan gagasan yang diyakini akan menjawab kesulitan akibat konflik politik dan krisis ekonomi. Mereka menawarkan gagasan Pembangunan dan Modernisasi sebagai anti-tesis dari kegagalan Orde Lama yang mengusung politik 'Revolusi Belum Selesai-nya' Soekarno dengan semboyan Berdikari dan Antinekolim-nya.

Para elit pendukung Orde Baru memandang perlunya perubahan haluan politik dan ekonomi dengan mengedepankan sikap pragmatik daripada ideologis untuk mengatasi krisis. Maka diperlukan pendekatan lebih terbuka pada modal asing seraya menghentikan politik konfrontasi terhadap berbagai pihak yang dianggap kontra-revolusi. Menyangkut keterbukaan ekonomi dan penghentian konfrontasi politik hampir tidak menimbulkan pertentangan di antara para elit pendukung Orde Baru. Namun terkait bagaimana cara mengimplementasikan perubahan haluan tersebut ternyata menimbulkan perbedaan visi yang cukup prinsipil.

Berbeda dengan mayoritas elit militer dan teknokrat yang menghendaki sistem politik sentralistik dan teknokratik, sebagian intelektual berhaluan progresif pendukung Orde meyakini bahwa cita-cita pembangunan dan modernisasi niscaya memerlukan kelembagaan demokrasi. Dr. Umar Kayam (saat itu Dirjen Radio, Televisi dan Film) menekankan pentingnya membangun sebuah partai massa untuk menandingi partai-partai politik yang ada (Mohtar Mas'oed, Kebijakan Pembangunan sebagai Kendala Demokratisasi, 1994). Bahwa modernisasi dan pembangunan membutuhkan kolektivitas berupa kolaborasi dan sinergi antar pihak. Dengan kata lain mereka menghendaki keterlibatan rakyat secepatnya dan seluasnya-luasnya dengan jalan membuka partisipasi politik melalui kelembagaan demokrasi khususnya melalui jalan membuka kesempatan bagi lahirnya organisasi politik berbasis massa.

Sebagaimana gagasan Dr. Umar Kayam yang menekankan perlunya demokratisasi, Soe Hok Gie adalah salah satu eksponen angkatan '66 dan pendukung Orde Baru dari kalangan intelektual publik yang juga mendorong terberinya hak-hak demokrasi bagi rakyat secepatnya. Gie mencatat dalam artikelnya di harian Kompas, Betapa Tidak Menariknya Pemerintah Sekarang (Kompas, 16 Juli 1969) mengenai perubahan-perubahan besar yang akan dijalankan pemerintah Orde Baru yang niscaya memerlukan mobilisasi dan komunikasi sosial.  

Menurut Gie dalam artikelnya itu, salah satu cara yang seharusnya ditempuh pemerintah Orde Baru untuk membuka komunikasi dengan rakyat adalah dengan cara membentuk kelompok-kelompak yang dapat bicara dengan segala lapisan masyarakat dan dengan bahasa yang bisa dipahami rakyat. Namun kenyataannya, menurut Gie, hingga tahun pertama sejak Orde Baru berkuasa hampir tak ada komunikasi yang dipahami rakyat.

Orde Baru, oligarki yang diperbarui

Harapan yang semula disandarkan pada Orde Baru untuk membangun demokrasi perlahan meredup. Orde Baru secara perlahan justru bergerak menjadi rezim anti-demokrasi. Alih-alih membuka komunikasi dan partisipasi publik dalam bernegara dengan membangun sistem kelembagaan negara secara demokratis, Orde Baru justru memobilisasi aparatur negara (ABRI dan birokrasi sipil) sebagai alat propaganda dan penyokong pemerintah semata. Orde Baru terlihat mengkonsolidasikan sumberdaya negara dan masyarakat secara sentralistis melalui instrumen struktural dan ekstra struktural (operasi khusus/opsus), salah satunya melalui Dwi Fungsi ABRI, untuk memobilisasi aparatur negara demi kepentingan politik sentralistiknya. Orde Baru juga menggunakan instrumen struktural melalui Undang-Undang Pemilu 1971 demi mendulang legitimasi politik oligarki dengan memanipulasi dan memaksakan kemenangan partai Golkar. 

Berlawanan dengan semangat awalnya yang menentang otoritarianisme Orde Lama, Orde Baru justru mengarah pada konsolidasi politik fasis-oligarkis dimana otoritas negara semakin menguat namun di saat bersamaan peran rakyat secara substantif justru dilemahkan. Negara dan rakyat berada dalam relasi kuasa politik yang timpang (zero-sum game) dimana yang satu menihilkan yang lain, dalam konteks ini negara mengabaikan peran substantif rakyat dalam kehidupan bernegara melalui proyek depolitisasi dan kooptasi organisasi sosial-politik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline