Sejak zaman dahulu kala, sebagian manusia telah diperbudak oleh harta, tahta, dan wanita. Hanya karena hawa nafsu, manusia yang tinggi derajatnya rela diperbudak oleh hal-hal yang dapat merendahkan derajatnya. Bahkan, tak sedikit manusia yang rela menjual harga diri, keimanan, dan keluarga demi ketiga hal tersebut.
Akan tetapi, kini manusia tak lagi hanya diperbudak oleh harta, tahta, dan wanita saja. Manusia juga diperbudak oleh pakaian (fashion). Perkembangan industri tekstil, kreasi dan inovasi dalam mode pakaian, serta menjamurnya toko-toko pakaian hingga ke pelosok-pelosok dunia menjadi pemicu gaya hidup yang "fashionable". Pakaian semakin mudah didapat, dengan berbagai mode dan varian, dan tentu dengan harga yang semakin murah.
Kalau pada awalnya pakaian adalah sebagai kebutuhan pokok, kini pakaian bukan lagi kebutuhan melainkan telah menjadi sebuah gaya hidup. Pakaian telah menjadi tren, gengsi, prestise, status atau simbol tertentu. Pakaian tak lagi hanya berfungsi untuk menutup aurat, tapi berfungsi pula sebagai idol, berhala, bahkan "Tuhan" baru.
Orang membeli pakaian bukan karena benar-benar butuh, tapi bisa jadi hanya keinginan sesaat, tergoda diskon atau promo, atau bahkan hanya untuk sekedar dikoleksi. Tidak sedikit orang yang membeli pakaian hanya dipakai beberapa kali dalam setahun; atau bahkan hanya disimpan saja di dalam lemari alias belum pernah dipakai sama sekali.
Senada dengan pakaian, berlaku pula pada produk-produk yang dekat dengan pakaian atau ada hubungannya dengan tubuh kita. Mulai dari jilbab, tas, sepatu,sandal, ikat pinggang, sarung dan lain-lain. Kita memiliki sepatu atau sandal hingga berpuluh-puluh pasang, padahal kaki kita hanya dua pasang.
Tren pakaian berlangsung setiap saat. Kita pun mudah berganti-ganti pakaian hanya karena ingin mengikuti tren yang ada. Sehingga banyak toko-toko yang mengobral pakaiannya karena sudah tak lagi sesuai tren terkini. Pakaian bisa dijual dengan harga sangat murah, setara dengan harga semangkok bakso.
Di sisi lain, karena alasan gengsi, orang-orang tertentu bisa membeli satu potong pakaian dengan harga hingga jutaan rupiah. Mereka rela menghambur-hamburkan uang hanya ingin mendapat pujian orang lain atau tujuan popularitas. Sedangkan untuk urusan amal sosial, seperti donasi atau sedekah, mereka belum tentu bersedia melakukannya. Sungguh ironis memang, ketika masih ada orang miskin yang tak mampu membeli pakaian, walau dengan harga puluhan ribu rupiah saja.
Ada sebagian orang yang begitu diperbudak oleh pakaian. Ia tak mau dikatakan ketinggalan zaman, selalu mengikuti tren terbaru-mode terkini. Urusan pakaian adalah urusan nomor satu. Ia rela menguras isi dompet, pergi ke luar negeri, mencurahkan tenaga dan waktu untuk hadir di acara fashion show, update info terkini tentang mode, dan lain sebagainya. Ia telah menghamba kepada pakaian, menyembah kepadanya.
Hakikat Pakaian Menurut Islam
Inti ajaran Islam perihal pakaian adalah terkait asas fungsional, bahwa fungsi utama pakaian adalah untuk menutup aurat. Menutup aurat dalam arti pakaian tidak tipis (transparan), terlalu ketat sehingga memperlihatkan lekuk tubuh, serta menutupi yang menjadi batasan aurat. Termasuk di dalamnya tidak boleh lelaki berpakaian menyerupai perempuan, begitu pula sebaliknya.
Memang, secara prinsip Islam tidak merinci terkait warna, model, bahan, jenis dan seterusnya, yang terpenting sesuai dengan prinsip syar'i. Dengan demikian, Islam tidak melarang adanya kreativitas dan inovasi produk pakaian, yang terpenting tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Yang tidak diperbolehkan adalah mengenakan pakaian yang menampakkan aurat, berlebih-lebihan dalam berpakaian, ada niat kesombongan.