Lihat ke Halaman Asli

Trimanto B. Ngaderi

Penulis Lepas

Kelas Menengah Baru di Perdesaan

Diperbarui: 10 November 2018   14:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Foto: Anak-anak saat belajar dan membaca buku di kafe kopi literasi milik kelompok Agro Ayuning Tani Dukuh Pasah, Desa Senden, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. (Dokumentasi Sugiantoro - kompas.com)

Pemandangan yang barangkali cukup mengejutkan. Kalau kita keliling di daerah-daerah perdesaan di Pulau Jawa pada umumnya dan di Kabupaten Boyolali khususnya (daerah saya sendiri), kita akan menemukan rumah-rumah yang sangat bagus (bahkan terkesan mewah), mobil-mobil bermerk berseliweran, dan penampilan penduduk desa yang tak kalah dengan orang kota. Hal ini diimbangi pemandangan adanya swalayan dan minimarket, kios dan ruko, fasilitas rekreasi dan hiburan, serta berbagai pelayanan jasa.

Ya, pertumbuhan ekonomi di perdesaan sedang tumbuh pesat. Selain kegiatan perekonomian dan industri yang semakin bergairah, perubahan menuju daerah sub-urban, intensifikasi di bidang pertanian, dan tentunya pendapatan per kapita yang juga meningkat. Hal ini memicu munculnya kelas-kelas menengah baru.

Kelas menengah baru ini berasal dari kalangan pedagang dan pengusaha, pegawai negeri dan pegawai pemerintah, guru dan akademisi, serta para pebisnis baru di bidang jasa. 

Kelas menengah baru ini dari tahun ke tahun jumlahnya kian meningkat, salah satunya adalah mulai ditinggalkannya mata pencaharian di bidang pertanian menuju ke bidang industri dan jasa. Terlebih memang lahan pertanian sendiri dari waktu ke waktu terus menyusut akibat alih fungsi lahan dan pertambahan penduduk.

Mereka memiliki kemampuan daya beli yang cukup signifikan. Kebutuhan dasar sudah terpenuhi dengan baik, sehingga mereka beralih untuk memenuhi kebutuhan sekunder, bahkan kebutuhan tersier. 

Kebutuhan akan pendidikan anak-anak yang bagus (sekolah favorit), rekreasi dan hiburan, jasa perawatan tubuh, olahraga dan kesenian, wisata dan umrah, hingga pemenuhan kebutuhan tersier seperti rumah mewah, mobil bermerk, membangun tempat usaha, serta memiliki aset-aset tertentu.

Kelas menengah baru ini ada yang tinggal di perdesaan, ada pula yang tinggal di daerah perantauan. Hebatnya lagi, yang tinggal di perantauan biasanya memiliki dua rumah, satu di desa satu di kota. 

Di desa membangun rumah yang cukup bagus hanya ditempati kalau waktu Lebaran saja. Atau rumah itu disuruh menempati orang tua atau saudara. Ada juga yang dibiarkan kosong begitu saja. Bahkan, ada pula yang disuruh orang lain menempati secara gratis. Soalnya kalau di desa masih susah untuk disewakan, kecuali lokasinya dekat dengan kota kecamatan yang sudah banyak para pendatang dan perantau.

Mengurangi Urbanisasi
Sejak terjadinya perkembangan desa yang begitu cepat dan kecamatan menjadi sebuah kota kecil (sub-urban), minat anak-anak muda untuk pergi merantau terutama ke Jakarta juga semakin berkurang. 

Selain lapangan kerja di desa juga sudah banyak tersedia, tinggal di desa juga berasa hidup di kota, bisa hidup ala kota-hidup gaya kota. Termasuk juga minat para kaum muda untuk melakukan wirausaha, terutama di bidang industri pertanian maupun industri kreatif. Justru malah kawasan kota kecamatan sekarang menjadi tujuan bagi para perantau. 

Di daerah saya, sudah ada banyak perantau dari Madura, Sunda, dan luar Jawa seperti Lampung, Minangkabau dan daerah lainnya. Mereka bilang, membuka usaha di kota kecamatan peluangnya lebih besar dan pangsa pasarnya juga besar. Daripada mereka harus buka usaha di Jakarta misalnya, yang persaingannya sudah sedemikian ketat dan peluangnya semakin kecil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline