Lihat ke Halaman Asli

Trimanto B. Ngaderi

Penulis Lepas

"Human Capital" dan "Social Capital", Modal Utama Berbisnis

Diperbarui: 5 Mei 2018   17:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Kebanyakan kendala terbesar orang mau memulai berbisnis adalah soal modal, dalam hal ini modal uang (money capital). Kekurangan atau ketiadaan modal uang sering menjadikan seseorang ragu untuk memulai usaha atau bahkan mengurungkan niatnya. Modal uang masih dianggap sebagian besar orang sebagai modal utama untuk berbisnis.

Padahal, banyak cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan modal uang. Pinjam misalnya, bisa pinjam ke saudara, tetangga, bank, atau lembaga keuangan lainnya. Bisa juga mencari investor baik perorangan maupun perusahaan. Atau berbisnis dengan modal patungan. Dan masih banyak lagi cara mendapatkan modal. Bahkan, ada pula orang yang menjalankan bisnis tanpa modal uang sama sekali.

Sebenarnya untuk memulai berbisnis, tidak hanya money capital saja yang kita butuhkan.  Akan tetapi, human capital (modal manusia) dan social capital (modal sosial) juga tak kalah pentingnya. Modal manusia terkait dengan kualitas orang yang akan menjalankan usaha itu sendiri. Modal ini bisa meliputi pengetahuan, keterampilan, pengalaman, kepribadian, sikap, mental, dan lain-lain. Sedangkan modal sosial di antaranya jaringan (networking), relasi, kemampuan berkomunikasi, peran sosial, aktivitas sosial, kemampuan kerja tim, kerjasama dan seterusnya.

Dalam memulai bisnisnya, banyak orang mengabaikan modal manusia dan modal sosial di atas, sehingga tak jarang bisnisnya tidak jalan, tidak ada kemajuan, atau bahkan bangkrut. Oleh karena itu, tanpa perpaduan ketiga modal tersebut di atas, suatu usaha atau bisnis tidak mungkin akan bisa berjalan dengan baik dan meraih kesuksesan. Toh pada kenyataannya, banyak orang punya modal besar, tapi tidak memiliki keterampilan tertentu, sehingga ia bingung mau usaha apa.

Contoh nyata adalah yang penulis alami sendiri. Pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan jaringan sudah penulis miliki, tapi modal uang belum mencukupi. Sempat bingung juga mau usaha apa atau mau pinjam ke mana atau kepada siapa. Keragu-raguan sempat membelenggu saya beberapa saat lamanya. Semangat yang luar biasa, tapi tidak dibarengi dengan keberanian untuk memulainya. 

Mau pinjam ke bank atau lembaga keuangan lainnya masih takut jika tidak bisa lancar mengangsur. Mau menjual tanah atau hewan ternak tidak punya. Mau menjual rumah atau kendaraan tidak sanggup, karena memang belum memiliki keduanya.

Di tengah keragu-raguan dan ketakutan, akhirnya saya berani mengambil keputusan juga. Memulai usaha dengan cara sebagian modalnya meminjam ke saudara kandung dan menjual satu-satunya perhiasan yang saya miliki. Saya meninggalkan Jakarta untuk selama-lamanya, kembali ke kota asal saya di Surakarta, Jawa Tengah untuk merintis usaha.

Akhirnya, walau harus melewati proses dan perjuangan yang cukup berdarah-darah, akhirnya di bulan Agustus 2012, usaha yang saya cita-citakan sejak lama terwujud juga. Membuka jasa pengetikan dan percetakan ditambah jualan alat-tulis kantor (ATK).  

Setelah kurang lebih empat bulan lamanya usaha saya berjalan dan mulai berada di titik "aman", terpikir olehku untuk melakukan ekstensifikasi usaha, dengan asumsi bahwa mencari rejeki jangan hanya lewat satu pintu saja. Tujuannya adalah jika usaha yang satu ada kendala atau tidak berjalan dengan baik, masih memiliki usaha lain sebagai sumber penghasilan.

Akhirnya, mulai bulan Desember 2012, saya merintis usaha lembaga keuangan syariah dalam bentuk Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) atau yang lebih dikenal dengan Baitul Maal wat-Tamwil (BMT). Walaupun saya tidak ada basic ekonomi syariah sama sekali, bukan berarti aku tidak bisa. Toh segalanya bisa dipelajari, jika kita mau. Karena prinsip saya, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, asal ada kemauan dan ketekunan.

Selama merintis usaha, ternyata tidak ada kendala yang cukup berarti yang saya alami. Cuma memang, yang namanya merintis usaha itu ibarat "babat alas", baru membuka hutan belantara. Dibutuhkan perjuangan yang sangat gigih, seperti pemasaran yang gencar, mencari/merebut pelanggan, mengenal dan menguasai pasar, menjalin hubungan dengan pihak lain, dan sebagainya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline