Lihat ke Halaman Asli

Trimanto B. Ngaderi

Penulis Lepas

Marlojong

Diperbarui: 27 April 2018   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Muka-muka tampak menegang. Sorot mata yang tajam, bak seekor singa hendak menerkam mangsa. Ibu menunduk kaku. Bapak berjalan mondar-mandir tak tentu. Sedangkan kakakku menunjukkan sikap antipati. Suasana hening begitu lama. Sunyi sekaligus menegangkan. Angin semilir dari jendela kayu tak jua membuat mereka tenang dan rileks.

Aura keakraban dan kegembiraan dalam musyawarah keluarga, karena mendengar kabar dariku bahwa aku telah memiliki calon istri, mendadak berubah gaduh dan keterkejutan saat aku menjawab pertanyaan ibu. "Dia orang Batak, Mbok?" jawabku ringan tanpa beban.

"Orang Batak itu wataknya keras, Le!" sontak bapakku menimpali dengan ekspresif hingga ia bangkit dari tempat duduknya.

"Bukannya orang Batak itu agamanya Kristen, apa kamu mau pindah agama?" sambung kakakku tak kalah sengit.

Aku cukup kaget dengan komentar mereka. Aku sempat gelagapan dan tak sanggup mengeluarkan kata-kata beberapa saat lamanya. Ada perasaan takut dan ciut ketika hendak mendebat mereka. Tapi ada dorongan kuat untuk menjelaskan kepada mereka. Aku harus bisa meyakinkan mereka. Harus berani.

"Di...dia itu Islam, Mas. Malah lulusan dari pesantren kok", jawabku masih dengan nada menghormat.

Mendengar jawabanku, bapak dan kakakku malah diam. Entah sedang mencerna jawabanku atau sedang berpikir hal lain. Suasana kembali hening. Perlahan, kulihat ibu mendongak dan sepertinya hendak bicara. Aku berharap ibu akan membela dan berpihak padaku.

"Mengambil istri dari Sumatera apa tidak kejauhan to, Le. Membayangkan jaraknya saja, ibu sepertinya tak sanggup", ujar ibu pelan.

Yah...ternyata meleset dugaanku. Walau tak secara langsung menolak, tapi ibu juga menyatakan keberatannya. Duh, aku harus bicara apa lagi ya untuk bisa meyakinkan mereka semua. Aku berpikir keras untuk menemukan kata-kata yang dapat melunakkan hati mereka.

"Pokoknya, bagaimanapun juga, Bapak tetap tidak setuju kamu menikah dengan orang seberang. Titik!" pungkas Bapakku sembari memukulkan kepalan tangannya ke meja kayu tua di ruang keluarga, dan bergegas meninggalkan kami semua.

Aku menjadi salah tingkah. Aku memandang ke arah kakakku. Aku masih melihat sorot ketidaksetujuan di mata kakakku. Seketika itu juga, kakakku pun angkat kaki mengikuti jejak bapak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline