Oleh: Trimanto B. Ngaderi
Kini, telepon pintar (smartphone) bukanlah barang istimewa. Sebagian masyarakat Indonesia telah memilikinya. Terutama di Pulau Jawa, di kota atau di desa, orang kaya atau miskin, orang penting atau orang biasa, telah menggunakannya dalam keseharian kita. Bahkan, di setiap waktu, kita tak bisa melepaskannya barang sedikit pun.
Untuk berselancar di dunia maya, kita tak perlu repot memakai komputer atau laptop. Sudah ada di genggaman dan bisa di bawa ke mana pun dan di mana pun. Kita juga tidak perlu pasang jaringan internet lewat kabel telepon, menara pemancar (tower), atau pergi ke warnet. Cukup membeli paket data dengan kuota tertentu sesuai kebutuhan.
Fitur untuk media sosial pun kian beragam. Selain Facebook dan Twitter, ada pula BBM, Messenger, Instagram, dan yang paling populer adalah Whatsapp (WA). Di Whatsapp inilah, berbagai lalu lintas data baik berupa teks, gambar, audio maupun video berbedar dengan cepat dan masif dalam hitungan detik.
Selain berfungsi positif sebagai sarana komunikasi dan menambah wawasan, Whatsapp juga memiliki dampak negatif yang merusak baik secara individu maupun sosial. Terutama munculnya berita-berita bohong, kabar burung, desas-desus, yang sebagian besar isinya tak jauh dari dusta, provokasi, propaganda, dan penebar kebencian. Secara sosial, berita-berita seperti ini bisa mengakibatkan konflik, perpecahan, bahkan pertikaian.
Sayangnya, sebagian besar bangsa ini masih begitu mudahnya percaya kepada sebuah berita, tanpa menyaring dan menelaah terlebih dahulu. Kita cenderung menelan mentah-mentah apa saja yang kita terima tanpa memilih dan memilah, membandingkan, atau melakukan konfirmasi terlebih dahulu. Sikap analitis dan ketelitian belum kita miliki.
Keadaan ini diperparah lagi dengan minimnya kemampuan menulis pada bangsa ini. Kita belum memiliki kemampuan menulis yang baik dan benar, membuat berita yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan, dan menulis dengan gaya bahasa yang menentramkan. Kita justru memiliki kebiasaan copy-paste sebuah berita atau postingan tanpa seleksi dan tanpa memikirkan dampak dari tulisan tersebut bagi pembaca berikutnya.
Keseimbangan Berita
Hidup membutuhkan keseimbangan dalam berbagai hal, termasuk dalam hal berita. Ketika media-media mainstream baik cetak maupun eletronik tak lagi dapat dipercaya, kita akan mencari berita dari sumber lain. Selain dari portal berita (online), kini ada rujukan baru yaitu media sosial terutama sekali Whatsapp.
Di media sosial, kita cenderung berlaku sebagai konsumen berita. Kita membagikan (share) berita atau postingan yang entah dari mana sumbernya dan entah pula kebenarannya (hoax). Setelah itu kita menunggu hoax berikutnya. Begitu seterusnya. Kita dibuat sibuk dengan hal-hal yang belum jelas, hal-hal yang tidak penting, dan peristiwa yang bukan kejadian sesungguhnya.
Kita merasa telah berbuat banyak, telah melakukan kebaikan dengan membagi berita yang menurut kita benar dan bermanfaat. Kita seakan-akan telah melakukan peperangan besar melawan kezaliman dan ketidakadilan. Kita merasa telah melawan kemungkaran, kemaksiatan, penyimpangan, dan tindak kejahatan lainnya. Kita menampilkan diri sebagai penyelamat atau pahlawan. Padahal pada kenyataannya, kita tidaklah berbuat apapun. Tidak melakukan sesuatu pun di dunia nyata.