Lihat ke Halaman Asli

Trimanto B. Ngaderi

Penulis Lepas

Pendidikan Berbasis Budaya

Diperbarui: 3 Februari 2017   10:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA,

FILOSOFI YANG MULAI DITINGGALKAN

Oleh: Trimanto B. Ngaderi

Konsep pendidikan berbasis budaya adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk memenuhi standar nasional pendidikan yang diperkaya dengan keunggulan komparatif dan kompetitif berdasar nilai-nilai luhur budaya agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi diri sehingga menjadi manusia yang unggul, cerdas, visioner, peka terhadap lingkungan dan keberagaman budaya, serta tanggap terhadap perkembangan dunia. Salah satu peraturan daerah yaitu Perda DIY Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya. Perda ini dibuat antara lain didasari pertimbangan bahwa pemerintah provinsi DIY telah menetapkan visi pembangunan DIY tahun 2025 sebagai pusat pendidikan, budaya, dan tujuan pariwisata terkemuka di Asia Tenggara dalam lingkungan masyarakat yang maju, mandiri, dan sejahtera.

Nilai-nilai luhur budaya tersebut meliputi 18 macam nilai, meliputi: kejujuran, kerendahan hati, ketertiban/kedisiplinan, kesusilaan, kesopanan/kesantunan, kesabaran, kerjasama, toleransi, tanggung jawab, keadilan, kepedulian, percaya diri, pengendalian diri, integritas, kerja keras/keuletan/ketekunan, ketelitian, kepemimpinan, dan atau ketangguhan.

Nilai luhur budaya yang dimaksud identik dengan pendidikan karakter yang harus ditanamkan pada peserta didik melalui berbagai strategi. Menanamkan nilai-nilai luhur budaya pada diri peserta didik bukan merupakan hal yang mudah, namun bisa diupayakan dengan strategi keteladanan, program dan tindakan nyata, serta pembiasaan dari 18 nilai tersebut.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendorong pemerintah daerah mengimplementasikan pendidikan berbasis budaya daerah di sekolah sebagai sarana melestarikan kearifan lokal serta membentuk karakter bangsa. Menurut Sri Hartini, Direktur Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kemdikbud dalam Kongres Bahasa Jawa VI di Yogyakarta, Rabu, 9 November 2016 bahwa budaya daerah dari para leluhur kita memiliki nilai yang sangat fundamental dan harus diwariskan ke generasi berikutnya. Menurutnya, selain di sekolah, pelestarian budaya daerah bisa diperkuat melalui ekosistem yang lebih kecil, yaitu keluarga.

Konsep pendidikan budaya lokal akan mempersiapkan generasi muda agar lebih siap dalam menghadapi tantangan perkembangan teknologi di masa yang akan datang. Sebagaimana Sri Sultan HB X menegaskan, pendidikan yang bermuatan lokal memiliki hubungan yang sangat dekat dengan masyarakat dan berada di tengah-tengah masyarakat, sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat. Pendidikan berbasis budaya lokal dapat dengan mudah terinjeksi pada masyarakat sebagai pelaku utama perkembangan pendidikan. Dengan budaya sebagai pilar pendidikan, karakter yang diharapkan dalam perkembangan bangsa diyakini dapat berhasil ditanam. Diharapkan, seluruh elemen pendidikan ikut andil sebagai pelaku budaya lokal dalam menginternalisasikan nilai-nilai luhur budaya lokal masing-masing daerah untuk membentuk suatu model pendidikan karakter yang khas bagi setiap daerah.

Muatan Lokal

Untuk menanamkan nilai-nilai kearifan lokal, pemerintah menekankan kurikulum pendidikan muatan lokal. Kurikulum ini bukan barang baru, sejak tahun 1987, keberadaannya dikuatkan dengan SK Mendikbud RI No. 0412/U/1987 tanggal 11 Juli 1987. Di era reformasi, Peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah menyatakan bahwa struktur kurikulum pada setiap satuan pendidikan memuat tiga komponen, yaitu mata pelajaran , muatan lokal, dan pengembangan diri.

Muatan lokal diartikan sebagai program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya, serta kebutuhan pembangunan daerah setempat. Pada praktiknya, muatan lokal dipandang sebagai pelajaran kelas nomor dua dan pelengkap kurikulum. Sekolah-sekolah menerapkannya hanya sebatas formalitas untuk memenuhi tuntutan dari pemerintah. Dari sisi peserta didik, muatan lokal hanya sebatas hafalan semata untuk dapat mengerjakan soal, bukan sebagai way of life dalam kehidupan nyata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline