Lihat ke Halaman Asli

Trimanto B. Ngaderi

Penulis Lepas

Cerpen: Teroris Masjid

Diperbarui: 18 Januari 2017   09:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lantunan salam penanda akhir shalat terdengar lirih. Beda dari biasanya, kali ini sang imam membalikkan tubuhnya menghadap jamaah. Sembari berdzikir, ia mengamati para jamaah yang ada. Nampak keterkejutan dari bola matanya yang kian redup. Jamaah yang hanya beberapa gelintir orang, itupun terdiri para orang tua yang sudah sangat sepuh. Tiada remaja, apalagi anak-anak. Keprihatinannya kian menyiksa ketika menyadari masjid yang semegah dan seluas ini sepi-sunyi laksana kuburan.

Tiada tawa-canda anak-anak. Tiada terdengar cekikikan mereka ketika shalat. Tiada jeritan dan tangisan ketika mereka bertengkar. Tiada suara nyaring mereka melafalkan iqra bada Magrib. Tiada terlihat mereka berlarian dan berkejaran melewati shaf shalat atau mengelilingi pilar masjid.

Tiba-tiba lafal dzikirnya terhenti. Ia teringat akan suatu masa tertentu. Ia teringat akan sosok masa lalu yang raut mukanya menakutkan dan perawakan tubuhnya yang angker. Matanya yang selalu melotot. Mulutnya yang sering mengumpat. Tangannya yang sering menjewer. Jari-jemarinya yang sering menjewer. Gagang sapu ijuk atau surbannya yang selalu siap untuk memukul.

***

Kumandang adzan Maghrib bergema ke seantero dusun. Sebuah panggilan dari Tuhan agar orang-orang beriman bergegas ke masjid untuk shalat berjamaah. Dari sebuah rumah tak begitu jauh dari masjid, terdengar keributan kecil antara ibu dan anaknya. Si ibu terlihat sedang mengomel kepada anaknya yang masih asyik bermain.

“Ayo Le, segera ambil wudhu!”, perintah si ibu sembari menarik-narik tangan anaknya.

“Tidak mau Mbok. Aku tidak mau ke masjid. Aku shalat di rumah saja”, tolak si anak sambil meronta-rota berusaha melepaskan tangannya dari ibunya.

“Lebih baik ke masjid Le, karena kalau berjamaah pahalanya dua puluh tujuh kali lipat.”

“Pokoknya aku tidak mau ke masjid!” pekik si anak cukup lantang

“Jangan membantah, sekarang juga kamu mesti ke masjid”, sergah si ibu diikuti tarikan yang lebih kuat pada tangan anaknya.

Terjadilah tarik-menarik antara si ibu dan anaknya. Saking kuatnya tarikan tangan si ibu, hingga membuat si anak jatuh terjengkang dan kemudian si anak menangis keras. Mendengar keributan menjelang iqamat itu, si ayah datang untuk menengahi. Si ayah mencoba menanyai si anak mengapa ia tak mau pergi ke masjid, ia hanya diam menunduk. Ketika semakin didesak, si anak hanya menggeleng-geleng. Sedangkan si ibu mengatakan kepada suaminya bahwa anaknya memang bandel dan susah diatur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline