Cerpen
MUTIARA GURUN
Oleh: Trimanto B. Ngaderi
Debu beterbangan di sapu angin gurun. Jika memercik ke tubuh, debu itu terasa panas menyengat, sepanas yang yang terinjak kaki. Hamparan padang pasir bak lautan tanpa gelombang. Nun jauh di sana, tampak seperti air danau yang senyatanya hanyalah fatamorgana. Sesekali dijumpai kaktus gurun yang kian meranggas karena terus diterpa terik mentari.
Seorang musafir sedang melintas tempat itu. Ia menuntun untanya yang mulai terlihat kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang nan ganas. Sekalipun badai debu kian berhembus kencang, ia tetap melangkah agar segera sampai di sumber mata air atau perkampungan terdekat.
Sesampainya di sebuah perkampungan Badui, mendadak ia ragu untuk beristirahat. Ia kembali berjalan. Hingga sampailah ia melintasi sebuah tenda tua yang berdiri sendirian agak jauh dari perkampungan. Ia pun berhenti dan mengamati tenda itu secara seksama.
Ia melihat seorang kakek beruban yang sedang duduk di depan pintu tenda. Ia makin penasaran hingga ia berjalan lebih mendekat lagi. Si kakek tampak duduk dengan santai dan wajah yang tenang.
“Masya Allah, kedua tangannya buntung” pekiknya lirih ketika melihat keadaan si kakek itu.
Walau sudah berada di jarak yang dekat, si kakek belum menyadari jika ada orang yang datang kepadanya.
“Ya Tuhan, kedua matanya pun buta”, bisiknya dalam hati sembari telapak tangan kanannya digerak-gerakkan di depan matanya.
Mulut si kakek terlihat komat-kamit seperti sedang melafalkan dzikir tertentu. Si musafir mencoba mendekatkan telinganya untuk mendengarkannya.