Lihat ke Halaman Asli

Trimanto B. Ngaderi

Penulis Lepas

Kapitalisasi Pertanian

Diperbarui: 27 September 2016   13:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku masih ingat betul ketika masih SD, diminta untuk membantu orang tua menuai padi memakai anai-anai. Padinya sangat lebat dan tinggi-tinggi, melebihi tinggi badanku. Padi itu diikat seperti pocong untuk dibawa pulang dan dijemur hingga kering. Lalu padi disimpan di lumbung atau dengan cara digantung tak jauh dari tungku dapur. Ketika dibutuhkan, padi-padi itu ditumbuk memakai lesung kayu.

Itulah sekelumit kenangan masa kecil menjadi bocah dari keluarga petani. Namun kini semuanya telah sangat jauh berbeda. Modernisasi dan globalisasi telah mengubah segalanya. Tiada lagi anai-anai, bajak kerbau, lesung kayu, nasi manis dan pulen tanpa pupuk atau obat kimia, sawah masih banyak ikannya karena belum tercemar.

Petani tidak lagi mencangkul karena sudah ada mesin traktor. Ia tak lagi menyiangi tanaman karena sudah ada herbisida. Ia tak lagi repot dan berkotor-ria mengurus kotoran hewan karena sudah ada pupuk kimia. Ia tak perlu menumbuk padi dengan alu karena sudah ada mesin selep. Dan ia tak harus menunggu padi hingga umur enam bulan atau lebih karena sudah ada benih padi hibrid yang hanya berumur sekitar tiga bulan saja.

Pola Pikir Pragmatis

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah merubah semua lini kehidupan, termasuk di dalamnya perubahan revolusioner dalam bidang pertanian. Selain mempengaruhi pola kerja, juga berpengaruh dalam pola pikir dan budaya petani. Gaya hidup instan yang merupakan ciri utama globalisasi dan industri kapitalisme kian merasuk dalam sikap dan perilaku petani.

Keinginan dan nafsu untuk memperoleh hasil panen yang melimpah dan dalam waktu yang relatif singkat, membuat petani rela melakukan apa saja, meski itu membawa efek negatif dan merusak lingkungan. Kerakusan dan keserakahannya tega memunahkan makhluk hidup lain dan mengganggu keseimbangan ekosistem dari mikro-makrokosmos.

Pupuk kimia telah menggantikan pupuk organik. Tinggal beli terus ditabur. Sedang pupuk organik (kandang) repot mengumpulkannya, bau dan kotor, juga prosesnya lama. Padahal pupuk inilah yang aman tanpa efek samping, menggemburkan tanah dan banyak jasad renik, tanpa biaya karena bisa dibuat atau disediakan sendiri, dan menghasilkan panen yang berkualitas.

Sementara penggunaan pupuk kimia membuat tanah menjadi keras (bantat), padi yang dihasilkan tidak steril, dan tentunya perlu modal tambahan untuk membelinya. Demikian halnya penggunaan obat rumput atau obat serangga bisa mencemari lingkungan dan mematikan habitat dan mikroorganisme.

Dampak kerusakan lingkungan sudah luar biasa dan sangat mengkhawatirkan. Beberapa spesies rumput-rumputan punah. Belalang, kupu-kupu, kinjeng, dan beberapa serangga lain semakin susah dijumpai. Hewan air seperti belut, ular, bekicot, keong, orong-orong, ikan-ikan kecil nyaris langka. Termasuk cacing tanah dan mikroorganisme penggembur tanah ikut pula terbasmi. Seakan-seakan yang boleh hidup dan eksis hanyalah padi atau tanaman lain yang menguntungkan petani.

Pada petani sayur dan buah, kini ada pula obat untuk mempercepat tumbuh tanaman dan mempercepat atau memperbesar buah. Maka jangan heran jika ada kangkung atau bayam yang hanya beberapa minggu sudah panen. Ada tanaman buah yang umurnya hanya dua bulan dan buahnya lebih besar. Sayur dan buah juga nampak mulus dan segar karena banyak obatnya, sehingga hama atau serangga tidak mau memakannya. Ulat, belalang, jamur, atau bekicot takut untuk mendekat.

Dicengkeram Kaki Kapitalisme

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline