Lihat ke Halaman Asli

Trimanto B. Ngaderi

Penulis Lepas

Menjadi Muslim Inklusif

Diperbarui: 8 Desember 2015   12:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

MENJADI MUSLIM INKLUSIF

Oleh: Trimanto B. Ngaderi 

Inklusif adalah lawan dari eksklusif. Istilah eksklusif di Indonesia sering digunakan dalam praktik keagamaan. Secara bebas, eksklusif dapat diartikan sebagai merasa benar sendiri, menolak keragaman, bersifat kaku/keras kepala, beda dari yang lain, tegas dan sulit kompromi, mengingkari realitas pluralisme dan multikulturalisme, cenderung hitam-putih, dan lain sebagainya.

Pada awalnya aku cenderung begitu. Tapi seiring perjalanan waktu, setelah melihat berbagai realitas kehidupan sehari-hari, aku sedikit demi sedikit mulai berubah. Aku mulai punya cara pandang-sudut pandang yang berbeda terhadap agama khususnya dan kehidupan pada umumnya. Karena banyak sekali realitas kehidupan yang aku temui kadang berbeda, bahkan bertolak belakang dengan apa yang aku yakini selama ini.

Beberapa contoh kecil, orang yang sudah berhaji atau umrah (bahkan yang sudah berkali-kali) belum tentu meningkat kesalehannya atau ada perubahan sikap dan perilaku dalam kesehariannya. Atau muslimah berjilbab belum mesti luhur akhlaknya. Pun orang yang rajin beribadah dan berdzikir tidaklah selalu memiliki pula kesalehan sosial. Dan tentu masih banyak contoh lainnya.

Sebaliknya, ada orang yang kita anggap biasa-biasa saja, tapi sebenarnya ia memiliki kemuliaan tertentu. Ada pula orang yang kita anggap remeh dalam beragama, justru memiliki kesalehan sosial yang mumpuni. Atau orang yang kita kira aneh, nyeleneh, berbeda, ternyata mempunyai keluhuran dan derajat yang tinggi.

 

Kesalahan-kesalahan Kita

Pertama, klaim. Kita sering mengklaim diri atau kelompok kitalah yang paling benar, yang terbaik, paling unggul, paling berkontribusi, dan (ter) lainnya. Klaim-klaim seperti itu terkadang membuat kita lupa diri, lupa berintrospeksi; bahwa diri atau kelompok kita sebenarnya masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kekerdilan. Masih banyak yang perlu diperbaiki dari diri kita, masih terlalu beragam hal yang mesti kita evaluasi. Cenderung memandang kekurangan atau sisi negatif pihak lain sering membuat lupa akan luka-luka diri sendiri.

Klaim-klaim ini biasanya terjadi pada kelompok agama, partai politik, komunitas, dan ranah SARA lainnya.                      

Kedua, cenderung mengutamakan kulit. Sudah menjadi tabiat manusia untuk lebih menonjolkan sesuatu yang tampak dari luar, kelihatan di permukaan, suatu citra (kesan), ritual lahiriah. Kita lebih suka menampilkan atribut, “baju”, simbol, dan segala sesuatu yang bukan diri kita yang sebenarnya. Kita sering memoles “kulit” sedemikian rupa, tapi terkadang lupa meningkatkan kualitas isi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline