Cerpen
PINJAM JAGO
Oleh: Trimanto B. Ngaderi
Gundukan tanah itu belum kering. Taburan aneka kembang di atasnya masih menebarkan aroma wangi. Dua buah potongan papan tertancap di tengahnya. Di salah satu papan bertuliskan nama dan tanggal lahir penghuninya.
Walau mentari hampir tepat di atas kepala, wanita muda itu tak jua beranjak dari sisi gundukan itu. Kepalanya menunduk. Dari dua sudut matanya, bulir-bulir air mata terus mengalir deras. Jerit tangisnya yang menyayat hati menandakan kesedihan sekaligus penyesalan yang dalam. Sesekali kepalanya menengadah dengan raut muka takut dan tegang.
“Duh Gusti, mengapa semua ini mesti terjadi padaku? Mengapaaa...?”, suara menggema di komplek pekuburan dekat kali Bengawan Solo itu.
Lalu, matanya kosong menatap arus deras sungai. Peristiwa demi peristiwa terputar ulang dalam ingatan sadarnya.
***
Kegundahan Surtinah kian menggumpal ketika di usia tujuh tahun pernikahannya dengan Parmin belum jua dikaruniai si buah hati. Terlebih lagi keluarga suami dan juga para tetangga menuduhnya sebagai wanita mandul. Jiwa makin teriris dan hati kian tersayat. Apalagi ada desas-desus bahwa keluarga suami menginginkan untuk menceraikan Surtinah. Bumi serasa terbelah dan langit seakan runtuh.
“Belum ada bukti kalau aku ini mandul!”, bisiknya lirih.
“Harapan selalu ada, bersabarlah,” gumamnya mencoba menghibur diri.
Sabar ada batasnya, begitu kata orang Jawa. Kesabaran dan optimisme yang ia bangun selama ini akhirnya runtuh jua. Gunjingan saudara dan tetangga, kesepian yang kian mendera, juga rasa iri melihat kemesraan sebuah keluarga diiringi canda-tawa si kecil; membuatnya kian ciut.
“Apa aku minta cerai saja dan kawin lagi ya?” begitu terlintas dalam benaknya.
Ahhh...
Tak mungkin aku minta cerai. Parmin begitu mencintai dan menyayangiku. Ia penuh perhatian dan tidak pernah berbuat kasar. Tidak banyak bicara dan bukan suami penuntut. Walau kulitnya gelap, tapi sebenarnya ia juga ganteng dan bodinya bagus. Ah, jarang sekali ada tipe suami seperti dia.
Tapi mengapa kami belum jua punya anak. Apakah Parmin yang sebenarnya mandul? Atau memang Tuhan belum mengizinkan kami untuk memiliki momongan? Atau ini sebuah hukuman, atau malah kutukan? Lalu apa salah kami di masa lalu?
Berbagai pertanyaan terus melintas dalam relung jiwanya yang kian gersang itu.
Pernah seorang tetangga menyarankan untuk periksa ke dokter spesialis. Surtinah cukup bersemangat dengan saran itu, tapi suaminya tampak begitu enggan. “Tidak perlu, mungkin belum waktunya kita punya putra”, jawab Parmin enteng.
Surtinah makin panik. Jiwanya makin nggrantes[1]. Hatinya kian lara. Bingung. Sedih. Usaha apa lagi yang mesti dilakukan agar hajat besarnya itu segera terwujud. Anjuran kyai di kampungnya untuk rutin shalat malam, memperbanyak shalawat dan istighfar, juga bersedekah telah pula ia tirakati.
“Mengapa mesti bersedih, kamu tidak sendirian Surti. Banyak pasangan yang lama belum dikaruniai anak. Bersabarlah dan pasrahkan semuanya pada Gusti Allah!” saran bijak dari kawan sekolahnya dulu.
Untuk beberapa saat lamanya Surtinah sedikit tenang hatinya. Mukanya nampak sedikit cerah. Ia mulai rajin ke sawah seperti dulu.
Di suatu pagi, di sawah ia bertemu dengan Lastri yang baru pulang dari Jakarta dan kini menetap di kampung kembali. Mereka kemudian asyik mengobrol, hingga pembicaraan menjurus kepada persoalan pribadi Surti. Lastri mencoba menghibur dan menyampaikan empatinya.
“Kenapa tidak pinjam jago saja, Sur?” ungkapan spontan terlontar dari mulut Lastri yang lebar dan tipis itu.
“Pinjam jago? Maksudmu?” tanya Surti benar-benar tak mengerti sembari mengernyitkan keningnya.
“Alah jangan pura-pura tidak tahulah. Selingkuh, selingkuh,” jawab Lastri diikuti kedipan mata yang nakal.
“Hus ngawur kowe, dosa kuwi[2]”, sahut Surti sambil memelototkan matanya tanda tak percaya.
“Halah, pakai mikir dosa segala. Lha sampean pingin punya anak tidak?”
Surti tidak menjawab. Ia larut dalam keheningan. Sesaat kemudian ia menganggukkan kepala. Rayuan Lastri melebihi tiupan sihir setan. Lastri nampak tersenyum puas. Ia lalu mendekat ke telinga Surti, seperti hendak membisikkan sesuatu.
Angin berhembus sepoi-sepoi, menggoyang-goyangkan dedaunan padi yang mulai menghijau setelah disiangi. Matahari yang mulai meninggi, panasnya terasa menyengat kulit. Rombongan kinjeng[3] nampak terbang rendah mengitari pohon jagung yang ditanam di pematang. Beberapa pasang kupu-kupu terlihat menari-nari dan sesekali hinggap pada bunga jagung yang bermekaran.
****
Surti beberapa kali mengelus perutnya yang tampak mulai membesar. Walau beberapa kali tersenyum lega, sejatinya wajahnya menampakkan ketakukan yang amat. Beberapa kali ia mendesah panjang. Kebingungan masih menggelayuti pikirannya. Ia sendiri tak menyangka akan melakukan perbuatan senekat ini.
“Bagaimana kalau suamiku tahu kalau aku hamil dari orang lain, Mas?” desis Surti kepada Ramto, lelaki selingkuhannya.
“Tenang saja, Sur. Aku pasti bertanggung jawab dan akan menikahimu. Minggu depan aku akan mengajakmu ke kota meninggalkan desa ini” sahut Ramto dengan senyum penuh misteri mencoba meredam kegelisahan Surti.
“Benarkah itu, Mas? Lalu bagaimana dengan si Ningsih istrimu dan kedua anakmu?” kejar Surti.
“Itu menjadi urusanku. Lagi pula aku lagi ada masalah dengannya.”
Surti tersenyum lagi. Hatinya bagai bunga bermekaran. Ia makin kesengsem sama Ramto. Walau tubuhnya kecil, berkulit hitam, dan tidak seganteng Parmin suaminya; ia dianggap lelaki jantan dan baik hati. Kini, ia merasa hidupnya beruntung. Angin yang berhembus lembut semakin menyuburkan mimpi-mimpi dalam angan-angan Surti. Kicauan burung di rerimbunan pohon trembesi seakan ikut berpesta atas kegembiraan yang dirasakan Surti.
***
Waktu terus melaju kencang seperti kereta api yang melesat laksana kilat. Tujuh bulan satu minggu telah berlalu. Anak Surti lahir sebelum waktunya. Selain kondisi fisik bayi yang lemah, juga mengalami kelainan hidrocephalus. Untuk biaya perawatan dan pengobatan, Surti telah menjual semua perhiasan dan uang simpanannya. Tak hanya itu, tanah satu-satunya warisan orang tua pun telah ikut dijualnya. Semua harta Surti telah ludes tak tersisa. Ramto pun tak banyak membantu, karena beberapa waktu lamanya menganggur.
Seminggu setelah kelahiran, akhirnya sang bayi kembali ke pangkuan Ilahi. Betapa sedih hati Surti saat itu. Anak yang diimpikan tujuh tahun lamanya tak mau dirawat olehnya. Bahkan, ketika ia telah mengorbankan dirinya, kehormatannya, juga harta-bendanya; namun semuanya sirna.
Kesedihan itu makin berlipat ketika Ramto memutuskan untuk kembali kepada istri dan anak-anaknya. Langit serasa runtuh. Dunia menjadi gelap gulita. Kosong. Hampa.
Ia tak tahu mesti ke mana. Ia tak tahu lagi mesti berbuat apa.
***
“Semua telah berlalu. Bertobatlah selagi masih ada umur!” sebuah suara mengagetkan lamunan Surti.
Ia menyeka air mata dan mengelap keringat yang mulai membasahi lehernya. “Suara siapa itu?” ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling makam. “Tidak ada orang, mungkinkah itu suara malaikat?” tanyanya dalam hati.
“Menuruti hawa nafsu, hanya berakhir dengan penderitaan”, kembali suara aneh itu terdengar, lirih tapi begitu menggema di ruang kesadarannya.
Sesaat kemudian, cuaca yang tadinya panas menyengat, mendadak berubah mendung dan gelap. Angin berhembus sangat kencang. Daun kamboja gugur beterbangan. Suara petir menggelegar bersahutan. Suasana terasa amat menakutkan dan mengerikan. Tubuh Surti menjadi gemetar. Menggigil.
Surti merasa semuanya telah hancur, tiada harapan lagi, dan tidak ada gunanya lagi hidup. Mendadak ia kalap. Seperti didorong kekuatan iblis, ia berlari ke arah sungai Bengawan Solo.
Dan ia menceburkan diri di tengah derasnya arus.
(Andong, 15 Juni 2015).
[1] Merana
[2] Hus, ngawur kamu, dosa itu
[3] Capung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H