Lihat ke Halaman Asli

Trimanto B. Ngaderi

Penulis Lepas

Cerpen "Pahlawan Tersholeh"

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen

PAHLAWAN TERSHOLEH

Oleh: Trimanto B. Ngaderi

Shalat Jum’at baru saja usai. Tidak seperti jamaah lainnya, Mas Karyo sebagai salah satu takmir masjid bergegas menuju beranda masjid. Dengan tangkas, tangannya menyambar kotak amal yang terbuat dari kayu. Setelah  membuka kunci-kuncinya, ia keluarkan isinya. Bunyi gemericik membahana ketika uang receh berhamburan menimpa lantai keramik.

Ia mulai memilah-milah uang kertas di hadapannya. Tiba-tiba saja ia mengerutkan keningnya, kemudian menggelengkan kepala beberapa kali. Selanjutnya, ia menghitung uang itu dengan enggan. Raut mukanya menampakkan keprihatinan.

Satu-satu per satu jamaah shalat Jum’at mulai membubarkan diri. Mereka berlalu begitu saja saat melewati Mas Karyo yang sedang menghitung uang. Sudah biasa. Tak ada yang istimewa dari menghitung uang. Toh mereka sudah percaya sepenuhnya kalau Mas Karyo takmir yang amanah.

Lain halnya dengan Jamil. Biasanya usai shalat Jum’at ia langsung pulang. Tapi kali ini ia menghampiri Mas Karyo. “Boleh saya bantu, Mas?” ujar Jamil menawarkan diri.

“Wah, yo jelas boleh to Dik. Tapi jangan ndelekke yo!” jawabnya sembari meringis menampakkan gigi depannya yang gingsul.

Jamil tidak membalas. Ia tahu kalau kakak sepupunya itu suka bercanda. Ia langsung meraih uang receh dan menghitungnya.

“Sampean kenapa Mas kok ngitungnya nggak semangat gitu?” tanya Jamil ketika melihat raut muka enggan Mas Karyo.

“Hayo, coba tebak. Siapa pahlawan Indonesia yang paling sholeh?”

Jamil tidak langsung menjawab. Ia menerka apakah Mas Karyo sekedar bercanda atau bertanya sungguhan. Ia juga merasa aneh, kok tumben Mas Karyo bertanya seperti itu. Sesaat kemudian, ia berpikir sejenak, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan itu.

“Ya tentunya pahlawan yang rajin beribadah dan bersedekahlah” jawab Jamil sekenanya.

Mas Karyo tak menggubris jawaban Jamil. Ia hampir selesai menghitung uang kertas di tangannya. Sementara masjid mulai tampak lengang. Para jamaah sudah hampir pulang semua, kecuali beberapa orang yang masih khusyu’ berdzikir maupun berdoa.

Jamil pun segera pulang usai membantu menghitung uang receh. Sedangkan Mas Karyo menuliskan jumlah pendapatan infaq hari itu di papan tulis masjid. Lalu, Mas Karyo merebahkan tubuhnya di beranda masjid. Air mukanya tampak lesu. Desahan panjang keluar dari hidungnya yang agak mancung itu.

Ia prihatin dengan kondisi masjid yang semakin tak terawat. Karpet yang sudah kusam. Tembok yang sebagian retak dan mengelupas. Keramik pecah. Kran wudlu rusak. Sementara uang hasil infaq Jum’at hanya cukup untuk biaya rutin saja. Bayar listrik dan air, kebersihan, dan honor marbot.

“Ah...seandainya para khatib menyampaikan keutamaan bersedekah di setiap khutbahnya” gumamnya lirih.

Pernah Mas Karyo menyampaikan perihal perawatan masjid saat acara Yasinan selapan sekali. Tidak banyak yang merespons usulannya. Bahkan, ketika Pak RT menetapkan untuk iuran sejumlah uang tertentu, banyak jamaah yang keberatan, dan sebagian malah protes dengan keras. Hingga pada akhir pertemuan, belum juga ada kesepakatan, berapa besarnya iuran untuk perbaikan masjid.

Mas Karyo hanya bisa mengelus dada. Ia begitu prihatin atas kesadaran beramal jamaah masjid. Ia tak habis pikir, tidak sedikit warga yang memiliki rumah bagus dan kendaraan roda empat, tapi mengapa mereka masih enggan untuk berinfaq. “Apalagi mereka juga rajin beribadah” jeritnya dalam hati sembari menggeleng-gelengkan kepala tanda tak percaya.

Pernah suatu hari, ia merasa amat kesal. Ia mendengar kabar bahwa ada jamaah yang menuduhnya telah menggelapkan uang masjid. Pada awalnya ia sempat kebakaran jenggot mendengar rumor negatif itu. Sampai-sampai ia berniat untuk keluar dari kepengurusan takmir masjid. Tapi kemudian ia bisa menahan diri dan bersabar. Ia menyerahkan sepenuhnya pada penilaian Allah Yang Mahatahu. Toh, semua laporan pemasukan dan pengeluaran telah ia catat secara rutin di papan tulis masjid. Bahkan, jika diminta bukti transaksi sekalipun, ia sanggup menunjukkannya.

“Menjadi bendahara tak dapat gaji sepeserpun, eh masih dituduh korupsi” pekiknya kesal.

“Sabar Pakne, setiap peran di dunia ini selalu ada risikonya sendiri. Tidak usah menggubris apa kata orang. Aku yakin, Pakne tidak mungkin melakukan tindakan buruk itu”, hibur Suminah, istrinya.

****

Seperti biasanya, usai shalat Jum’at Mas Karyo disibukkan dengan aktivitas menghitung uang infaq di beranda masjid. Lagi-lagi ia tampak enggan dan tidak bersemangat. Malah mukanya menyiratkan kemuraman. Sepertinya setengah hati ia menghitung uang itu.

“Hhh.... lagi-lagi Pattimura” desahnya berat ketika melihat uang infaq mayoritas seribu rupiahan. Berkali-kali ia mendesah panjang. Napasnya terdengar berat.

“Ada apa to Mas, kok terlihat gundah begitu?” sapa Jamil yang seketika itu telah duduk di sampingnya.

“Walah, tidak ada apa-apa. Cuma kecapekan aja tadi sehabis dari sawah. Oh ya, pertanyaanku kemarin belum kamu jawab to?” jawab Mas Karyo mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Pahlawan tersholeh itu Mas? Duh, siapa ya? ......”

Sesaat kemudian, Mas Karyo mendadak sumringah. Ia memekik keras. Bersorak kegirangan, seperti anak kecil mendapat mainan baru. Ternyata jemarinya menemukan lembaran merah bergambar dua tokoh pendiri negeri ini.

“Andai saja ada yang kayak gini lima lembar saja!” ungkap Mas Karyo berapi-api.

“Lho , memangnya kenapa Mas?” tanya Jamil kebingungan dengan sikap aneh sepupunya itu.

“Lha ya begini. Soekarno-Hatta juga perlu masuk surga. Jangan Pattimura terus yang bakal masuk surga”, sambung Mas Karyo.

Jamil yang pelum paham maksud Mas Karyo tambah kebingungan.

“Pahlawan tersholeh yang kumaksud itu ya Pattimura itu. Soalnya, uang seribu itulah yang paling banyak dimasukkan jamaah ke kotak infaq.” Tampak Mas Karyo mengipas-ngipaskan uang seratus ribuan itu dengan bangga di depan Jamil.

Kebahagiaan Mas Karyo semakin bertambah ketika kemudian Jamil menyerahkan uang sebesar 500 ribu, infaq dari Pak Ahmad yang baru saja pulang merantau. Senyum terindah tersungging dari bibirnya yang tampak kering dan pucat itu.

Trimanto B. Ngaderi




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline