Lihat ke Halaman Asli

Trimanto B. Ngaderi

Penulis Lepas

Sepak Bola, Puasa, dan Perdamaian Dunia

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

SEPAK BOLA, PUASA, DAN PERDAMAIAN DUNIA

Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)

Saat ini umat Islam sedang melakukan dua hajat besar, yaitu menonton sepak bola dan ibadah puasa. Sepak bola takkan bisa lepas dari kehidupan umat Islam di Indonesia (dan dunia). Tua-muda, kaya-miskin, di kota atau desa; sebagian besar menikmati ajang bergengsi tingkat dunia itu. Walau mereka sedang sibuk beribadah seperti shalat tarawih, taddarus, sahur, dan ibadah lainnya; mereka tak mau ketinggalan satu pertandingan pun.

Sepertinya, kesibukan beribadah dan lelahnya berpuasa seharian, tak menghalangi umat Islam untuk setia duduk di depan televisi mengikuti babak demi babak hingga final nanti. Lagi pula, keberuntungan bagi umat Islam di Indonesia, karena sebagian besar jadwal pertandingan waktunya berbarengan dengan aktivitas makan sahur.

Pesan Moral

Ajang piala dunia tidaklah sekedar hiburan atau menjadi juara semata, lebih dari itu, piala dunia membawa berbagai pesan moral baik kepada pemain maupun penonton di seluruh dunia. Pesan moral ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan piala dunia mampu membawa berbagai dampak positif terhadap kemanusiaan dan interaksi bangsa-bangsa.

Pertama, perintah lita’arafu, saling mengenal antarbangsa. Hal ini termaktub dalam Q.S. Al Hujurat: 13 bahwa Allah swt telah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling mengenal satu sama lain. Event piala dunia inilah bisa dijadikan momen untuk saling mengenal orang dari berbagai negara di dunia, budayanya, ciri fisik, karakter, makanan, cara berpakaian, dsb.

Perintah lita’arafu dalam bulan Ramadhan diwujudkan dalam bentuk kepedulian terhadap sesama manusia tanpa memandang suku-bangsa dan agama. Banyak anak manusia di berbagai belahan dunia yang saat ini sedang menderita kelaparan, kehilangan tempat tinggal, mengalami penyiksaan, tertimpa bencana dan lain-lain yang membutuhkan uluran tangan kita. Sebab, puasa tidaklah sekedar menahan lapar, tapi melatih untuk ikut merasakan penderitaan orang lain. Maka, umat Islam diperintahkan untuk memperbanyak infaq dan shadaqah untuk menumbuhkan rasa cinta-kasih sesama.

Kedua, semangat persatuan. Berkumpulnya negara-negara di dalam satu event setidaknya membawa semangat persatuan dan kesatuan. Berbagai perbedaan yang ada terkait agama, ras, suku-bangsa, atau budaya bukan menjadi penghalang untuk bersatu. Bahkan, ketika negara dari kedua tim sedang berkonflik atau pernah memiliki masa lalu buruk, mereka berupaya melupakannya dan menunjukkan sikap bersahabat.

Persatuan dalam satu tim sangat diperlukan untuk dapat bermain dengan baik dan memperoleh kemenangan. Sedangkan persatuan antartim dapat mewujudkan tujuan bersama, yaitu pertandingan yang berjalan lancar dan sesuai jadwal hingga final.

Bagi umat Islam, Ramadhan bisa dijadikan momen untuk memperkuat persatuan dan kesatuan di antara sesama umat Islam maupun antarpemeluk agama di dunia. Kenyataan bahwa puasa bukanlah milik umat Islam semata, tapi merupakan tradisi Ibrahimi. Umat Nasrani maupun Yahudi sebagai komunitas besar dunia juga diperintahkan Tuhan untuk berpuasa, tentu dengan cara dan waktu yang berbeda. Kesadaran berasal dari tradisi dan nenek-moyang yang sama diharapkan akan menumbuhkan kecintaan dan menghilangkan kebencian dan perselisihan.

Ketiga, saling menghormati. Pertemuan antarbangsa yang berbeda karakter dan budayanya tak jarang menimbulkan konflik atau pertengkaran saat bertanding atau di luar lapangan. Oleh karena itu, diperlukan sikap saling menghormati dan menghargai. Masing-masing tim diharapkan mampu menahan emosi dan mengendalikan diri jika terjadi perbedaan pendapat atau pemahaman. Anggota tim juga dituntut untuk menunjukkan sikap toleransi dan profesional dalam bermain karena nama baik negara sangat dipertaruhkan di sini.

Sebagaimana termaktub dalam Q.S. An-Nisaa’: 86 bahwa jika kita diberi perhormatan oleh orang lain, maka balaslah dengan penghormatan yang lebih baik.

Saling menghormati merupakan hal yang harus dilatih oleh umat Islam selama berpuasa. Menghormati orang lain yang tidak berpuasa, sebaliknya yang tidak berpuasa menghormati pula yang sedang berpuasa. Jika hal ini terlaksana, akan terciptalah kehidupan yang damai dan harmonis.

Yang patut disayangkan adalah tindak kekerasan dan main hakim sendiri yang dilakukan oleh oknum tertentu terhadap pihak-pihak yang dianggap tidak menghormati bulan Ramadhan. Tindakan seperti sweeping terhadap warung makan yang buka siang hari, tempat hiburan, atau pemboikotan seharusnya tidak terjadi. Di sisi lain, pihak pengusaha hiburan atau warung makan menghormati mereka yang sedang berpuasa.

Termasuk sikap menghormati adalah menghormati kelompok Islam lain yang berbeda prinsip dan keyakinan. Menghargai mereka yang memakai bilangan tarawih 11 rakaat atau 23 rakaat, toleransi mereka yang berpuasa atau berlebaran lebih dulu, maupun berbagai perbedaan terkait ritual dan tradisi yang mengiringi ibadah puasa.

Keempat, sportivitas dan kerja keras. Untuk mampu meraih juara, masing-masing tim dituntut untuk dapat bermain secara sportif dan bekerja keras. Tanpa kedua hal itu, mustahil sebuah tim akan lolos ke babak berikutnya atau tampil sebagai juara. Bermain curang atau tidak fair adalah tindak memalukan dan sudah pasti akan tersingkir. Nama baik pun akan tercoreng.

Demikian halnya jika seorang yang berpuasa hendak meraih derajat la’allakum tattaquun dan ‘idil fithri, harus berpuasa secara sportif dan bekerja keras (banyak beramal). Di hadapan orang banyak berpuasa, tapi di kala sendirian ia makan dan minum adalah puasa yang tidak sportif. Ia merasa sewaktu makan dan minum tidaklah ada yang melihat, padahal Allah Mahamelihat. Inilah salah satu karakter orang yang berpeluang melakukan korupsi.

Sementara tidak mungkin orang akan meraih derajat takwa dan kembali ke fitrah jika tidak bekerja keras atau amalnya amat sedikit. Taddarus malas, sedekah tidak mau, shalat sunat berat; bagaimana mau meraih juara (surga).

Perdamaian Dunia

Ketika bangsa-bangsa di dunia bertemu di satu tempat dalam satu event, mereka saling mengenal, saling memahami, dan saling menghargai. Walau berbeda suku-bangsa, agama, dan budaya; mereka bisa bersatu-padu dalam semangat kebersamaan dan persatuan. Tatap muka dan interaksi langsung di antara mereka diharapkan mampu menghilangkan prasangka, labelling negatif, ataupun stereotip yang dapat memicu perselisihan, konflik, bahkan peperangan.

Di sisi pemain, lawan main mereka adalah kawan dan sahabat, walau negaranya sedang ada konflik dengan negara lawan lain. Sedangkan di sisi penonton di seluruh dunia (termasuk pelaku perang), mereka bisa jeda sejenak menanggalkan senjata untuk sekedar refreshing atau menata emosi.

Sekembalinya ke negara asal, para pemain dan penonton dapat menularkan semangat persatuan dan perdamaian di negerinya. Demikian halnya peraih juara nantinya, pesta yang dilakukan di negaranya diharapkan tetap membawa spirit perdamaian bahwa kemenangannya adalah kemenangan bersama, kemenangan karena dukungan dari semua bangsa.

Para pelaku puasa pun diharapkan mampu menebarkan ghirah perdamaian dunia dalam bentuk kepedulian terhadap sesama manusia lewat sedekah maupun bantuan kemanusiaan, menjaga lisan dan perbuatan terhadap pemeluk agama dan bangsa lain, dan kesadaran transendental bahwa puasa adalah tradisi Ibrahimi (Yahudi, Nasrani, Islam) sehingga menjaga kerukunan dan persatuan antarumat agama dan penduduk dunia adalah keharusan iman.

*) Penulis Lepas dan Pegiat Forum Lingkar Pena

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline