KETIKA HATI DIBALUT DENGKI
Oleh: Trimanto B. Ngaderi
Pagi itu suasana kantor sebuah perusahaan kosmetik yang sedang berkembang tampak begitu ramai. Setiap akhir bulan, para staf marketing dikumpulkan di ruang meeting oleh manajer penjualan. Mereka yang terdiri dari para perempuan muda usia dua puluh hingga tiga puluh tahunan itu duduk melingkar sesuai bentuk meja ruang meeting. Sementara sang manajer berdiri di depan di samping whiteboard. Meeting ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana target yang telah dicapai oleh masing-masing staf beserta berbagai perkembangan penjualan di lapangan.
Masing-masing staf diberi waktu untuk menyampaikan laporan penjualannya selama sebulan. Di antara mereka, hanya Dyah yang hampir selalu mencapai target. Bahkan, bulan ini ia bisa menjual produk jauh melampui target. Sedangkan rekan-rekannya yang lain hanya sesekali mencapai target, hampir mencapai target, atau masih ada yang masih jauh dari target.
“Aku bangga sekali dengan Dyah. Kuharap yang lain bisa mencontoh dia”, ujar Rudi, sang manajer penjualan.
Mendengar hal itu, para staf menoleh ke arah Dyah yang duduk di sudut meja. Beberapa di antaranya memandang Dyah dengan sorot mata sinis dan dengki. Lalu mereka saling berpandangan dan berbisik-bisik satu dengan lainnya. Suasana menjadi gaduh.Dyah sendiri hanya mengangguk pelan dan kemudian tersenyum.
“Mungkin ada perkembangan baru yang ingin kau sampaikan, Dyah?” tanya Rudi memecah kegaduhan yang ada.
“Ada beberapa customer yang berniat ingin berlangganan produk kita Pak. Bahkan, ada beberapa orang yang ingin memesan dalam jumlah banyak,” jawab Dyah penuh semangat tapi tetap dengan nada rendah hati.
“Sebuah kabar yang bagus, aku senang mendengarnya,” kata Rudi bangga dan puas. “Semoga ini bisa membawa kemajuan perusahaan kita ke depan. Dan sekarang kalian boleh bubar”, lanjutnya.
Mereka pun keluar dari ruang meeting. Bisik-bisik kembali terdengar di antara mereka. Rina dan Dewi yang sedari awal memang tidak suka dengan keberadaan dan kesuksesan yang diraih Dyah, mengobrol di dekat toilet.
“Aku tak pernah habis pikir, kenapa Dyah selalu bisa mencapai target dan bisa mengambil hati Pak Rudi?” ujar Rina dengan nada tinggi dan mimik tegang.
“Aku sendiri juga heran, apa sih kelebihan dia. Wajah biasa-biasa saja, penampilan juga sederhana. Apalagi logatnya itu lho, medhok banget”, sahut Dewi tak kalah sengit.
“Atau jangan-jangan dia pakai jimat atau semacam penglaris gitu?”
“Wah, kamu jangan negative thingking dulu dong, masak sih zaman sudah modern gini masih main perdukunan. Aku tidak yakin itu.”
“Jangan salah ye, Dyah itu kan orang Jawa dari daerah pelosok. Biasanya kepercayaan terhadap dukun-dukun masih kuat,” balas Rina mencoba meyakinkan Dewi.
“Ah, pokoknya aku tak begitu yakin. Terlebih Dyah itu kan rajin shalat. Rasanya tidak mungkin dia main dukun,” ujar Dewi mencoba menilai secara obyektif. “Sudahlah, sekarang apa yang mesti kita lakukan untuk bisa mengungguli Dyah?” lanjutnya.
Rina diam sejenak. Ia mencoba mencari ide. Dalam batinnya ia sangat iri dengan Dyah. Sebab bukan hanya soal prestasi kerja saja, Rina sudah lama tertarik dengan Pak Rudi. Tapi sayang, upaya pendekatan yang dilakukannya selama ini belum berhasil. Pak Rudi hampir tak pernah meresponnya, apalagi sekedar memberi perhatian terhadapnya. Ia sangat tidak rela jika Dyah mendapat perhatian lebih dari Pak Rudi.
“Lho, kok malah bengong begitu, sudah dapat ide belum?” sela Dewi membuyarkan lamunan Rina.
“Gini aja dech, bagaimana kalau sesekali kita ikuti si Dyah dalam menawarkan produknya ke calon customer?”
“Oh, ide yang bagus. Aku setuju. Ok, yuk kita berangkat!”
Keduanya saling menepukkan telapak tangannya sebagai tanda persetujuan dan seiring-sejalan. Lalu keduanya bergegas keluar kantor untuk memulai aktivitas seperti biasanya. Namun saat melewati ruang meeting, mereka terkejut melihat Pak Rudi masih asyik mengobrol dengan Dyah. Kedengkian Rina semakin memuncak. Berbagai prasangka buruk bermunculan di benaknya.
***
“Kalau boleh tahu, apa pekerjaan ibu saat ini?”
“Anak ibu sudah berapa dan sekolah di mana saja?”
“Apakah ibu terbiasa memakai peralatan kosmetik?”
Itulah berbagai pertanyaan yang dilontarkan Dyah saat sedang menawarkan produk kosmetik kepada seorang ibu-ibu yang sedang menjemput anaknya pulang sekolah. Ibu itu tampak menjawab berbagai pertanyaan Dyah dengan senang hati. Ia juga terlihat penuh semangat dan antusias menyimak setiap kata demi kata yang disampaikan Dyah. Keduanya ngobrol dan bercerita layaknya seorang teman dekat dan sudah kenal lama. Dan di akhir pembicaraan, Dyah mencoba menawarkan produk kosmetik kepada ibu tadi. Ibu itu tampak tertarik dan bersedia membeli produk tersebut tanpa paksaan.
Dyah pun tersenyum puas, karena produknya telah terjual dengan sukses pagi itu. Ia kemudian pergi meninggalkan ibu itu dengan langkah yang pasti dan penuh keyakinan untuk mencari target lainnya. Namun, tanpa disadari oleh Dyah, dua pasang mata telah mengawasinya dari jauh sedari tadi.
“Nah, benar kan apa yang kubilang. Dyah itu memakai ilmu hipnotis untuk menyihir calon pembeli. Buktinya ibu-ibu tadi mengikuti apa saja yang dikatakan Dyah dan mau membeli produk yang ditawarkan Dyah tanpa banyak pertanyaan”, kata Rina sangat yakin.
“Betul juga ya. Aku aja yang sudah menerapkan berbagai jurus rayuan kepada calon pembeli, belum tentu mereka mau membeli barang kita, bahkan ketika kita tawarkan harga yang murah sekalipun”, timpal Dewi mendukung pernyataan temannya itu.
“Kalau begini caranya, bisa-bisa Pak Rudi makin kesengsem ama gadis ndeso itu. Bisa-bisa aku gagal untuk mendapatkan cintanya,” gumam Rina sembari mendesah panjang.
Aku lebih cantik. Aku lebih berpendidikan. Aku lebih modern. Aku lebih ....aku lebih dalam banyak hal dibanding Dyah. Tapi mengapa Pak Rudi tak menaruh perhatian sedikitpun padaku. Ia malah lebih dekat kepada Dyah yang kampungan dan norak itu. Jangan-jangan ia juga menggunakan ilmu pelet untuk menaklukkan Pak Rudi. Demikian Rina membatin.
“Bagaimana kalau kita belajar hipnotis, Wi?” teriak Rina tiba-tiba.
“Untuk apa, Rin?” tanya Dewi tak mengerti.
“Ya untuk menghipnotis calon pembeli kita sekaligus aku bisa menghipnotis Pak Rudilah!”
“Terus kita mau belajar ke siapa, apa kamu kenal guru hipnotis?”
“Pusing amat sih kamu, kan iklan di majalah atau koran banyak.”
“Iya juga. Okelah.”
***
Pelan-pelan Rina membuka matanya. Ia sangat terkejut saat mendapati dirinya berada di rumah sakit. Ia lebih terkejut lagi ketika melihat orang yang ada di hadapannya adalah Pak Rudi dan Dyah. Ia berusaha bangkit, tapi kepalanya terasa pusing dan badannya sedikit lemas.
“Kenapa aku bisa di rumah sakit ini?” tanyanya dengan tatapan heran sembari menengok ke kiri dan kanan.
“Tadi Dyah menemukanmu tergeletak tidak sadarkan diri di pinggir jalan di daerah Depok. Dialah yang membawamu ke rumah sakit ini”, jawab Pak Rudi kalem.
“Apa yang terjadi padaku, dan mana pula si Dewi?” tanya Rina yang masih diarahkan kepada Pak Rudi.
Pak Rudi sendiri merasa agak kikuk dan kurang enak, sebab Dyahlah yang seharusnya menjawab pertanyaan ini. Tapi ia segera menyadari bahwa selama ini hubungan antara Rina dan Dyah memang kurang harmonis.
“Kamu sepertinya telah dihipnotis oleh seseorang, sedangkan Dewi sampai saat ini belum diketahui keberadaannya”.
Rina mulai berpikir keras. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian yang baru saja ia alami bersama Dewi. Saat itu, ia bersama Dewi pergi ke seorang paranormal di daerah Depok yang bisa mengajarkan ilmu hipnotis. Setelah bertemu dengan orang tersebut, terjadilah percakapan singkat. Sejak itulah, ia merasa seperti orang linglung. Namun, samar-samar ia masih ingat dibawa oleh orang tersebut ke mesin ATM, termasuk menyerahkan isi dompet perhiasannya dengan sukarela. Dan setelah itu, ia tidak ingat apa-apa lagi.
“Mana dompetku, mana perhiasanku? Oh, tidaaak!” Rina berteriak histeris. Lalu ia bangkit dari pembaringan dan meraba leher,pergelangan tangan dan juga saku celananya. “Oh, my God! Tidak! Tidakmungkin! ...”
Rina disibukkan dengan dirinya sendiri yang belum bisa menerima sepenuhnya bahwa uang dan perhiasannya telah raib. Ia mengabaikan Dyah yang telah menolongnya, bahkan walau sekedar untuk mengucapkan terima kasih sekalipun. Akhirnya, Pak Rudi pun memberi kode kepada Dyah untuk segera meninggalkan ruangan itu.
“Kalau tahu sikap Rina seperti itu, seharusnya kamu tidak perlu menolong dia, Dyah. Benar-benar orang yang tidak tahu terima kasih!”, ujar Pak Rudi ketika sudah sampai di luar ruangan.
“Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong siapapun yang sedang tertimpa kesusahan tanpa pandang bulu, Pak”, jawab Dyah penuh keyakinan.
“Tapi ketika ia sudah terkena batunya, ia belum juga mau sadar. Rugilah kamu telah menolongnya”, balas Pak Rudi yang bisa menerima sikap Rina.
“Menolong orang, siapapun dia, tidak ada ruginya Pak. Karena Tuhan-lah sebaik-baik pemberi balasan!”
Dyah sengaja memberi penekanan pada kalimatnya yang terakhir itu. Pak Rudi yang mendengar itu, segera menghentikan langkahnya dan menoleh kepada Dyah. Ia menatap Dyah penuh kekaguman. Dan dari lubuk hatinya yang paling dalam, benih-benih cinta itu tumbuh bermekaran.
Inilah tipe gadis yang aku cari selama ini. Bisiknya lirih. (Kartasura, 10/29/2012 10:48:18 AM)
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H