Cerpen
DATU RAMBA
Oleh Trimanto B. Ngaderi
Ketika keluarga Abdullah baru saja menikmati santap buka puasa, tiba-tiba istri Ahmad berteriak dari dalam bilik.
“Abang, badanku panas sekali ...!”
Seketika itu juga Ahmad berlari ke dalam bilik tempat istrinya berbaring. Segera ia menempelkan tangan kanannya ke kening, tangan dan kemudian badan.
Mendadak wajah Ahmad panik.
“Ayo, aku bawa kamu periksa ke dokter!”
“Lebih baik kita panggil datu saja. Dari dulu aku sudah sering berobat ke dokter, tapi tidak pernah ada hasilnya.”
Ke datu??!
Bukankah berobat ke datu biayanya sangat mahal? Belum lagi zaman sekarang sangat sulit membedakan antara datu yang bersih dengan datu-datuan. Apalagi telah banyak orang yang tertipu oleh datu palsu ...! Bukannya sembuh malah kita kadang kehilangan banyak uang atau kesucian kita ternoda. Tapi, kalaupun berobat ke dokter pun biaya tidak sedikit. Terlebih istirnya telah banyak meminum obat, takut kalau obat-obat itu merusak badannya.
“Ayo, kamu segera berangkat. Mengapa kamu masih bengong di situ?” kata Umak.
Ahmad pun segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan agak cepat ke rumah Uwak Ramba. Baru kali ini ia ke rumah datu itu. Setelah bertanya ke beberapa orang, sampailah ia di sebuah rumah kecil dan sangat sederhana, terbuat dari papan dan tampak gelap dari luar.
Pelan ia mengetuk pintu.
“Assalamu’alaikum .....”
“Wa’alaikum salam”, terdengar sahutan dari dalam.
Keluarlah seorang lelaki tua berambut putih memakai sarung dan kaos oblong. Walaupun umurnya sudah sangat tua, tapi badannya masih kelihatan gagah dan kuat. Mukanya bersih dan tampak bercahaya.
“Saya ingin bertemu dengan Uwak Ramba!”
“Saya sendiri, silahkan duduk dulu!”
Setelah duduk lesehan, Ahmad memandang ke sekeliling. Benar-benar rumah yang sangat sederhana. Tidak ada barang berharga di ruangan itu. Kecuali tumpukan padi yang berada di sudut ruangan. Dan yang membuat Ahmad tersadar adalah ternyata di rumah itu tidak ada lampu listriknya. Hanya sebuah lampu minyak tanah yang tertempel di dinding.
“Ada keperluan apa kamu datang ke sini?” tanya Si Ramba dengan ramah.
“Istri saya badannya panas sekali, saya mohon uwak bersedia datang ke rumah!”
“Baiklah, tunggu sebentar. Aku berkemas dahulu.
***
Setibanya di rumah, uwak Ramba langsung memeriksa tubuh istri Ahmad. Tangannya secara bergantian diletakkan di kening, tangan dan badan istri Ahmad.
“Bagaimana keadaannya, Wak?” tanya Ahmad tidak sabar.
“Kalau boleh aku tahu, sakit apa ia selama ini?”
“Sakit maagh. Sudah beberapa hari ini ia tidak bisa makan. Ditambah pula dua kali ia menderita tipes.”
“Tolong buka perutnya, biar aku periksa!”
Ahmad pun membuka perut istrinya. Lalu dengan lembut si Ramba menyentuh perut, menekannya sedikit dan mengurutnya pelan. Lalu dengan wajah agak cemas, ia menoleh ke arah Ahmad.
“Maaghnya sudah parah sekali, perut bagian kiri dan kanan terkena semua. Hal ini juga yang membuat badannya mudah masuk angin, bukankah begitu?”
“Benar, Wak. Lalu...masihkah ia bisa disembuhkan?” tanya Ahmad dengan nada cemas.
“Jangan cemas! Obatnya sangat mudah dan murah. Ambillah lima buah ubi rambat, parut dan ambil sarinya. Kemudian campurlah dengan santan. Aduk sampai rata dan minum segera sebelum larut kembali. Satu lagi, belilah sarang burung layang-layang. Dan minum setelah minum obat tadi!” ujar si Ramba sembari menambahkan, “Tapi sebelum diminum bawalah obat itu ke rumahku untuk aku beri doa terlebih dahulu!”
Setelah berkata demikian, si Ramba pulang. Mendengar penuturan tadi, istri Ahmad merasa lega dan kemudian berkata, “Bang, aku yakin aku akan sembuh, karena telah banyak orang yang berobat kepada dia dan oleh Allah diberi kesembuhan,” katanya dengan penuh semangat dan keyakinan.
“Mudah-mudahan demikian, War. Semoga Allah berkenan memberi kesembuhan kepadamu,” sahut Ahmad memberi harapan. sepertinya ia mulai memiliki kepercayaan kepada datu itu.
Sementara itu, malam bertambah gelap. Suara gemericik air di samping rumah seolah-olah nyanyian indah abadi di alam kesunyian. Hembusan angin dingin dari balik pepohonan yang menelusup lewat celah-celah dinding papan, membuat mereka terlelap dalam mimpi-mimpi yang penuh misteri.
***
Di suatu sore keesokan harinya, Ahmad mendatangi lagi rumah si Ramba.
“Obat ini sudah aku beri doa-doa, bawalah kepada istrimu dan segera minumkanlah!”
“Terima kasih, Uwak. Lalu berapa kami harus membayar?”
“Jangan pernah bertanya demikian kepadaku, tapi berilah aku menurut kemampuan dan keikhlasanmu ....!”
Ahmad sangat terkejut mendengar ucapan si Ramba. Ia tak pernah menyangka kalau di zaman sekarang ini masih ada datu yang berhati bersih dan mulia seperti dia. Yang ada dalam benaknya adalah ia akan diminta uang yang cukup besar atas pengobatan itu.
“Mengapa kamu terdiam. Saya diberi oleh Allah kemampuan yang lebih untuk menolong sesama. Jika saya mengobati sesorang, saya harus berniat ikhlas membantu karena Allah semata. Tidak boleh berniat ingin mendapat imbalan, apalagi ingin memperoleh kekayaan.” Kata si Ramba dengan bijak seakan mengerti isi hati Ahmad.
“Ohh....” gumam Ahmad lirih, takjub akan kata-kata si Ramba.
“Oleh karena itulah, sebagai manusia kita tidak boleh sombong dan berlebih-lebihan. Kamu bisa lihat sendiri, aku sengaja tidak memasang lampu listrik di rumah ini sebagai wujud rasa tawadhu saya kepada Tuhan ... Bahkan, orang rumah sebelah pun menawariku listrik gratis, tetapi aku tidak mau”, lanjut Ramba penuh keseriusan.
Si Ramba menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu ia mendesah panjang. Sedangkan hawa dingin semakin menusuk tulang, oleh karena hembusan angin malam menelusup lewat celah-celah jendela. Di luar hujan rintik-rintik, sehingga Ahmad mengurungkan niatnya untuk berpamitan.
Kemudian si Ramba melanjutkan penuturannya. Ia mengisahkan berbagai pengalamannya mengobati orang di banyak tempat.
Ada satu kisah yang menurutnya sangat lucu. Datanglah kepadanya seorang kakek-kakek berusia lebih dari 60 tahun. Lalu ia mengutarakan niatnya bahwa ia mencintai seorang gadis dan menginginkan gadis itu tunduk dan mau menikah dengannya. Si Ramba sangat tidak suka dengan niat orang itu. Masa orang setua dia masih memikirkan hal perempuan, bukannya datang meminta nasehat untuk bekal akhirat. Orang tua tidak tahu malu...... Kurang ajar .....
Namun, demi menjaga perasaan orang itu, si Ramba berpura-pura menuruti kemauan orang itu. Beberapa hari kemudian, datanglah orang itu kembali. Ia menanyakan kembali, mengapa gadis itu belum mau tunduk kepadanya. Oleh si Ramba dijawablah dengan enteng, “Tuhan belum mengizinkan!”. Maka orang itu tidak datang-datang lagi kepadanya.
Ahmad yang sedari tadi khusyu’ mendengarkan penuturan uwak Ramba mendadak tertawa lebar. Ada-ada saja tingkah-polah orang di dunia.
Belum habis Ahmad tertawa atas cerita itu, uwak Ramba berkata, “Ayo diminum dulu kopinya, tidak usah terburu-buru pulang. Kita ngobrol-ngobrol dulu di sini. Lagipula, di luar hujan semakin deras.
Katanya pula ia tak segan-segan mengajarkan ilmunya kepada orang yang benar-benar ingin mempelajari dengan niat yang baik tanpa dipungut biaya. Lain dengan datu-datu lainnya yang memasang tarif puluhan juta rupiah jika ingin menjadi muridnya.
***
Sesampainya di rumah, Ahmad segera meminumkan obat itu kepada istrinya. Istrinya merasakan perutnya sakit dan perih, karena belum pernah meminum ramuan seperti itu. Lalu ia tertidur pulas. Sementara Ahmad masih duduk terpaku di samping istrinya dengan wajah cemas penuh harap.
Datu = tabib, dukun
(Rawamangun, 8 Des 2007, 14: 17 pm)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H