Tampaknya masyarakat sekarang amat begitu “mudah” menyelesaikan konflik melalui mekanisme jalur hukum. Penyelesaian konflik dengan melalui musyawarah mufakat atau pun secara kekeluargaan, seolah – olah dianggap tidak berlaku dan “bakal” tidak memuaskan bagi kedua belah pihak yang sedang ada masalah.
Jika timbul masalah antara kedua belah pihak, apalagi berujung dengan kontak fisik, maka pihak yang merasa dirugikan langsung main “asal” lapor saja ke institusi penegak hukum. Entah apa yang ada dalam benak pihak pelapor ini yang dengan mudah melaporkan masalahnya Ingin memberi efek jera, benar – benar merasa dirugikan secara immateril dan materil atau jangan – jangan hanya mengikut trend belaka.Hal inilah yang terjadi kepada guru – guru di negeri ibu pertiwi saat ini. Tugas dari mereka yang dijuluki “pahlawan tanpa tanda jasa” ini tidaklah mudah. Pengorbanan waktu dan energi dari pagi hingga siang bahkan sore harus dilakukan, demi usaha untuk mencerdaskan seluruh anak di negeri ini agar menjadi penerus generasi bangsa yang tangguh dan dapat diandalkan. Sayang seribu sayang,perjuangan dan pengorbanan mereka yang dengan ikhlas mewakafkan waktu, energi dan pikirannya tidak berbanding lurus dengan gaji yang diterima mereka saat ini. Hebatnya ialah meskipun masalah gaji guru ini bukanlah persoalan baru, hal tersebut tidak menjadi alasan mereka untuk kehilangan semangat untuk mengajar.
Hal yang sangat disayangkan dan kesedihan yang dialami di sebagian masyarakat saat ini, ialah bukannya mendapatkan berita tentang kenaikan gaji atau penambahan biaya remunerasi, justru masyarakat mendapat kabar nduka jika beberapa guru harus menerima nasib tinggal di balik jeruji besi. Mirisnya mereka harus menerima perlakuan tersebut karena ulah dari muridnya sendiri
Latar belakang kasus nya pun terlihat janggal dan sedikit aneh, para guru ini ada yang dilaporkan karena menghukum muridnya dengan sanksi yang sebenarnya hampir setiap orang dari masa ke masa telah merasakannya dan masih dapat memakluminya, semisal mencubit atau memarahi murid. Padahal hukuman yang dilakukan guru ini seyogianya demi mengajarkan kedisplinan bagi muridnya sendiri.
Pergeseran norma dan budaya nampak terasa dengan adanya realita nasib guru yang begitu miris saat ini. Dulu para orang tua justru akan menasehati dan menenangkan anaknya jika anaknya tersebut mendapat hukuman dari gurunya. Hal ini dikarenakan para orang tua percaya, hukuman yang diberikan guru kepada anaknya adalah demi mengajarkan sebuah kedisplinan dan membetuk mental yang kuat bagi anak itu sendiri. Sekarang jika anaknya diketahui mendapat hukuman dari gurunya, maka main lapor ke polisi bahkan ada orang tua murid yang langsung “asal main tonjok saja”: karena tidak terima atas perlakuan guru terhadap muridnya.
Jika hal ini terus terjadi dan tidak menjadi perhatian besar bagi pemerintah terutama institusi penegak hukum, maka persepsi masyarakat bahwa guru hanya berperan mengajar saja, tetapi tidak mendidik murid – muridnya bukanlah isapan jempol belaka. Hal ini dikarenakan di satu sisi mereka ingin mendidik mereka tentang arti sebuah kedisplinan, di sisi lainnya rasa takut akan menghantui di benak mereka karena perbuatan yang akan mereka terhadap muridnya tersebut, dapat menjadi malapetaka buat mereka untuk menjalani hidup di bilik prodeo.
Hukum Tidak Sekedar Memberi Efek Jera
Penulis teringat dengan tulisan dari Maria S.W. Sumardjono yang berjudul “Membaca dan Memahami Undang – Undang” di edisi Kompas, 26 Mei 1995 yang menyatakan masih banyak masayarakat terutama aparat penegak hukum yang hanya mempunyai kemampuan untuk membaca undang – undang, tetapi tidak mampu memahami undang – undang secara baik. Lebih lanjut di dalam tulisannya mengatakan membaca undang – undang cenderung menggambarkan adanya cara berpikir reaktif masyarakat terhadap undang – undang.
Aturan hukum hanya dilihat secara tersurat atau dari segi harfiah belaka. Padahal undang – undang tidak hanya dibaca tetapi harus dipahami juga, karena dengan memahami undang – undang merupakan cara berpikir reflektif yaitu masyarakat dituntut tidak hanya membaca setiap kata atau kalimat dari setiap peraturan perundang – undangan. Mereka harus mampu memaknai secara tersirat maksud dari bunyi aturan hukum tersebut.
Hal ini juga berlaku sama terhadap kasus yang menimpa para guru saat ini, masyarakat terutama pihak yang melaporkan guru ini ke institusi penegak hukum harus paham atas tindakan yang mereka lakukan tersebut akan berdampak baik atau malah justru memperkeruh suasana saja. Tidak perlu harus mempunyai latar pendidikan di bidang hukum, cukup dengan berpikir reflektif ditambah dengan mendengarkan hati nurani, maka akan timbul suatu kebijaksanaan dalam membuat suatu keputusan, bukan hanya berlatar belakang dari emosional semata. Jika keliru dan tidak memperhatikan sebagian besar asumsi publik, maka sanksi sosial beruba cibiran dan sinisme dari kalangan masyarakat luas, akan segera menghampiri kepada pihak pelapor itu sendiri.
Aparat penegak hukum juga mulai untuk hati – hati dalam setiap menerima laporan terkait kasus yang berkaitan dengan tenaga pendidikan. Alangkah baiknya aparat penegak hukum memulai kembali cara menyelesaikan suatu masalah tidak harus melalui mekanisme formil belaka. Tidak ada salah untuk ke depannya, jika para guru terlibat kasus hukum seperti ini, sebaiknya dilakukan dengan pendekatan kekeluargaan atau musyawarah mufakat. Hal ini dikarenakan hukum itu harus memberi kebahagiaan bagi kedua belah pihak, bukan hanya sekedar memberi efek jera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H