Lihat ke Halaman Asli

Balas Budi

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu seorang kawan yang hebat meninggalkan saya untuk selama-lamanya. Ia meninggal kecelakaan dalam perjalanan pulang setelah mengajar mengaji. Secara manusiawi saya merasa sangat sayang, bahwa ia yang bersahaja, baik perangainya, lagipula cerdas dan religius, (harus) meninggal pada usia relatif muda; bukan para brengsek, koruptor, de-ka-ka yang justru nggak mampus-mampus! Tapi bagaimanapun saya sangat percaya yang namanya “takdir”, harus ikhlas.

Namun, setelah itu ternyata keikhlasan saya mau tak mau terusik juga. Bukan tidak ikhlas kawan saya itu meninggal, melainkan karena tidak terima kawan saya tersebut digunjingkan orang. Sedikit memejamkan mata, menyadari itu, kuping saya terasa terbakar. Apalagi yang menggunjing dia seharusnya sudah jadi orang terhormat: pendidik di universitas.

Cerita itu bermula beberapa hari setelah kawan saya dimakamkan, seperti biasa di dalam perkuliahan dosen kawan saya tersebut “berceramah” – sampai ngalor-ngidul. Entah awalnya bagaimana, menurut cerita yang saya dengar ia memulai ceramahnya tentang potret kemiskinan di Indonesia. Bahwa kemiskinan masih saja jadi problem, meski Indonesia telah lebih 6 (enam) dasawarsa merdeka! Pendidikan pun, menurut dosen yang pinter itu – yang seharusnya bisa datangkan kesempatan hidup lebih layak – masih jauh dari yang diharapkan. Pendidikan masih belepotan!

Sampai di sini – bagi saya – itu masih bisa diterimalah. Hanya, kemudian ia memaksakan untuk menghadirkan sampel, contoh, tentang sebuah keluarga yang kondisinya seperti itu (baca: tragis). Nah, barangkali mencari conto yang fresh, up to date, dan sebisa mungkin dekat dan nyata dengan audiens (para mahasiswanya), tentang “nasib” keluarga kawan saya yang meninggal itu pun jadi “contoh paling pas!”

Katanya, “Nah, itu kan potret paling menyedihkan?! Sampai-sampai di sana saya tak mau minum air yang disuguhkan!” Alamak! Saya berpikir, oke, sebuah sikap memang urusan masing-masing, tapi untuk masalah yang demikian detil ini kenapa musti disampaikan pula?

Lalu lanjutnya intinya begini: “Dengan kemiskinan yang mendera, keluarganya merangkai asa dengan diterimanya anaknya di universitas. Eh, jadi ibaratnya kan sudah jatuh tangga menimpa pula, kemalangan yang bertubi-tubi. Sudah habis banyak biaya, malah keburu meninggal. Ia gagal bahagiakan keluarganya: mengentaskan kemiskinan keluarganya!

Bah! Saya kira segini cukup untuk ilustrasi tidak mengenakkan ini. Saya kemudian bilang kepada penyampai cerita kepada saya – sekali lagi, sikap seorang memang masing-masing – begini: “Sebenarnya apakah tujuan kita bersekolah, menuntut ilmu itu? Andai hanya untuk dapat kerja, agar kelak kaya-raya, hidup lebih layak secara materi, bagiku demikian tersesat! Ia tak berpikir, siapa yang tahu kawan kita yang meninggal itu ternyata telah sukses jadikan ayah-ibunya sebagai orang yang mulia dan berderajat tinggi di sana? Berpulang dengan khusnul khatimah, itulah yang menaikkan derajat mereka sekeluarga.”

Saya tidak sadar, bahwa saya menuliskan cerita ini dengan terengah-engah. Dada saya terasa sesak. Tapi saya ingin bilang lagi satu hal: “Bagaimanapun suksesnya kamu, lalu dengan kesuksesan itu kamu mencoba membalas budi kepada Ibumu, itu jauh dari sebanding dengan setetes susu dari dada ibumu!”

Salam. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline