Lihat ke Halaman Asli

Pancasila dan Calon Pemimpin

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“We understand reality when we get inside the self in relations “(Paulo Freire, 1970).

Pandangan seorang agamawan kiri yang menjadi tokoh pendidikan pembebasan di Amerika Latin ini menemukan konteksnya di tanah air kita sekarang ini. Sejak merdeka bangsa kita tidak berhenti berproses membangun fondasi budaya bangsa. Ragam konsep kebudayaan dari para cendekia dan agamawan (baik yang berorientasi barat, religi ataupun adat ketimuran) berdialog, hingga melahirkan nilai-nilai yang terangkum dalam konsep Pancasila. Problemnya adalah bagaimana nilai-nilai hasil kompromi ini harus diimplementasikan oleh segenap komponen bangsa yang plural. Alih-alih bersepakat mengimplementasikan, sejak awal bangsa ini disibukkan dengan perdebatan dan penentangan oleh sekelompok kecil politisi muslim yang ingin menegaskan formalisme Islam dalam pembukaan undang-undang dasar 1945. Teks Piagam Jakarta mengawali perdebatan formalisme ideologi negeri yang kala itu bahkan belum merdeka.

Gejala politik formalisme ternyata meluas dan merembet pada kontestasi ideologi antar partai. Alih-alih menjadikan Pancasila sebagai ideologi bangsa yang harus dipraktekkan dalam laku keseharian masyarakat dan politik partai, mereka justru meng-agung-kan ideologi masing-masing dan meninggalkan Pancasila. Puncaknya adalah lahirnya “Dekrit Presiden 5 Juli 1959” yang berujung pada pengembalian UUD 1945 sebagai undang-undang negara. Namun kompromi telah koyak sejak awal, bahkan tidak sedikit korban yang jatuh karenanya. Penahanan tokoh politik, pembubaran partai, sampai pemberontakan terjadi di awal pembentukan identitas bangsa ini. Dekrit kembali kepada Pancasila dan UUD 1945, tidak menjadikan para politisi dan partai politik untuk berpikir bersama menegakkannya. Sejarah tidak memberikan ruang reflektif yang cukup buat mereka untuk kembali bersinergi membangun bangsa. Sebaliknya kontestasi ini justru memuncak menjadi tragedi paling berdarah bagi bangsa ini pada 30 September 1965.

Kelahiran Orde Baru pun menyisakan sakit hati politik di kalangan politisi Masyumi yang tetap tidak diakui oleh regim Soeharto. kontribusi mereka dalam proses menjatuhkan Partai Komunis Indonesia tidak membuat Soeharto berterima kasih kepada mereka dengan sekedar memberinya ijin berdiri lagi. Tidak hanya itu, mereka yang berada dalam partai berbasis agama lainnya pun harus kecewa karena kebijakan penyederhanaan partai politik.Sekali lagi bangsa ini tidak sempat memperhatikan Pancasila, bahkan untuk sekedar memahami sejarahnya. Orde baru justru menjadikan Pancasila sebagai kedok untuk menutupi agenda formalisme politik pembangunannya. Keseragaman dipaksakan kepada seluruh partai dan masyarakat. Dunia pendidikan dijadikan sarana untuk menyemai ideologi pembangunan yang sangat pragmatis dan materialis. Pancasila dan butir-butirnya dipaksakan untuk dihafal, bukan dipraktekkan. Sehingga bangsa ini mengalami krisis identitas budaya, karena asas pembangunan yang tak mengindahkan nilai-nilai luhur Pancasila.

Pun ketika era reformasi memuncak, alih-alih kita menengok Pancasila, bangsa ini justru terlahir kembali sebagai bangsa yang penuh dengan semangat formalisme aliran ideologi dan agama. Lebih parahnya lagi, semua itu bercampur dengan nilai-nilai pragmatisme dan materialisme pembangunan yang ditancapkan Orde Baru dalam ruang kesadaran terdalam bangsa ini. Maka tak perlu heran jika sejak reformasi, wajah politik bangsa ini dipenuhi dengan keserakahan politisi, pejabat, dan bahkan partai politik dengan segala atribut idologi dan agamanya. Sejak awal, rakyat terdidik dalam gerak sejarah bangsa yang penuh kepalsuan dan formalisme. Kini kita sudah berdiri pada titik nadir kebudayaan dan peradaban. Caci maki dan umpatan, fitnah dan hasutan menjadi sajian yang dihidangkan setiap saat di media, tanpa mengenal waktu istirahat. Rakyat pun tak peduli, mereka terlalu lelah untuk bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi pada bangsa ini. Jangankan berefleksi, berpikir pun mereka sudah tak mampu. Jargon “Yang penting aku bisa makan menjadi inti hidup keseharian. Yang penting aku lulus menjadi hekekat  pendidikan. Yang penting aku berkuasa menjadi hakekat berpolitik, Yang penting agamaku menang menjadi tujuan beragama”. Tak peduli jika harus menipu, mencontek, berkhianat dan bahkan membunuh yang penting tujuan tercapai. Pragmatisme  hanya bertuhan pada pada uang, kekuasaan dan kekuatan. Tuhan dan Pancasila siapa yang peduli.

Sudah hampir 69 tahun kita merdeka, Pancasila tak pernah benar-benar menjadi dasar dalam berbangsa dan bernegara. Kita sudah melupakannya sejak dia dilahirkan. Kini bangsa kita bukan saja dihadapkan pada krisis kepemimpinan dan politik, tetapi juga krisis identitas dan peradaban sebagai sebuah bangsa. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang tidak saja harus tegas dan tangkas, lebih dari itu ia juga harus bisa menjembatani dan mengayomi perbedaan yang menjadi identitas sejak bangsa ini dilahirkan. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang tidak hanya pandai berorasi dan memberi janji dengan mencitrakan dirinya di media, tetapi juga harus mampu dan mau menyelami rasa jiwa dan raga rakyat Indonesia. Kita butuh pemimpin yang tak hanya mampu mengucapkan Pancasila, tetapi juga harus mampu memahaminya dari dalam ruang bathin bangsa ini. Sehingga mampu mewujudkannya sebagai nilai dasar kebangkitan dan pembebasan dari belengguh kebodohan, kemiskinan dan pragmatisme. Sebagaimana dikatakan dan dilakukan oleh Paulo Freire dengan pendidikan pembebasannya .

Salam hangat buat Negriku Indonesia

Canberra, 26 June 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline