Aku berlari. Entah berlari dari apa atau siapa. Aku hanya berlari di lorong gelap dan penuh genangan lumpur. Beberapa tong sampah ku jatuhkan, agar pengejarku terhalangi tong sampah yang terjatuh. Aku terus berlari. Entah sampai kapan dan hendak ke mana. Langkah kakiku sedikit terganggu dengan berat beban tas selempang yang ku gendong.
"Tolong aku, Tuhan", gumamku. "Selamatkan aku"
Benakku mulai liar. Aku membayangkan jika tertangkap. Entah oleh siapa atau apa. Aku membayangkan dirajam, dipenggal atau dikuliti. Dengan keliaran bayangku, aku terus berlari.
Di ujung perempatan gang ini, aku berbelok ke kanan. Terus berlari. Melewati pos ronda kosong. Menghindari cahaya temaram lampu jalan. Aku mencoba meraih bayangan. Aku pun bertemu sebuah pertigaan. Aku bingung dan bimbang. Entah mana yang benar. Suara bergemuruh berlarian di belakangku. Mulai terdengar sang pengejar. Akhirnya, aku memilih jalan sebelah kiri.
"Tolonglah aku Tuhan. Semoga jalan ini tidak buntu", doaku dengan keringat mengucur dan suara terengah-engah.
Aku berlari dalam gelap. Suara genangan air terinjak memecah keheningan malam. Kakiku letih. Akhirnya aku berhenti di kebun kosong. Kebun yang enggan dijamah orang. Aku duduk bersandar pada sebuah tembok dan mencoba menyembunyikan badanku di antara ilalang. Ku atur nafas dan mencoba tidak bersuara. Tak lama, sekelompok cahaya berlarian mendekat. Aku rendahkan badanku, sembunyi di balik bayangan ilalang.
"Cari! Dia pasti masih di depan!! Jangan berhenti", teriak seorang pemuda dengan kopiah hitam dan obor di tangan kanannya. Pemuda itu dan beberapa gerombolan pemuda berkopiah hitam pun berlari lurus. Mereka menjauh dari kebun tempatku bersembunyi.
Aku sedikit mengintip di balik ilalang. Memeriksa, sudah jauhkan mereka. Setelah memastikan bahwa tak ada yang mengejarku lagi, aku pun beristirahat. Tangan kananku memegang tas selempang dengan erat. Kepala aku sandarkan di tembok semen ini.
"Syukurlah. Aku aman. Terima kasih Tuhan", ujarku dalam hati.
Aku bangkit dari persembunyian dan berjalan menjauh dari kebun itu. Mencoba keluar dari perkampungan dan mencari jalan besar. Dengan nafas yang masih terengah-engah, aku berjalan perlahan. Celana jeans bututku sudah bermandikan percikan lumpur. Kemeja kotak-kotak dan kaos dalam oblongku sudah basah dengan keringat. Aku berjalan menuju sebuah cahaya di ujung sana. Sepertinya warung. Aku pun menuju cahaya itu.
Tak lama, aku sampai pada sumber cahaya. Ya, sumber cahaya itu memang warung. Kurogoh kantongku, ada dua lembar uang bergambar Imam Bonjol. Kurogoh kantong yang lain, tak ada lagi.