Sudah sekitar empat tahun yang lalu saya meninggalkan Jakarta. Kenangan itu masih bersemayam di dalam pikiran saya. Kehidupan di Jakarta sangat keras dan tanpa iba sedikitpun. Enam tahun yang lalu saya mengontrak kamar di pemukiman padat penduduk di Daerah Jakarta utara. Gang sempit diapit got berwarna hitam, berisi jentik nyamuk dan tentu saja berbagai ancaman penyakit. Perumahan yang padat membuat udara baik siang maupun malam terasa gerah. Pada saat musim hujan tiba dapat dipastikan akan datang banjir. Belum lagi aspek sosial seperti tingkat kriminalitas yang tinggi, kemacetan, dan ancaman kebakaran. Di Lingkungan seperti itu dijamin membuat tingkat stress meningkat.
Saya akan menceritakan pengalaman saya tinggal di Jakarta saat masih SMA sekitar pertengahan tahun 2007. Pengalaman itu masih membekas dan terpatri di dalam diri ini. Itu membuat diri saya lebih kuat dari sebelumnya . Semua orang sudah mahfum tentang problem banjir yang menghampiri ibu kota. Ia, nenek-nenek juga tau selalu ada banjir di jakarta, terus kenapa? Lebih dari itu ternyata ada hal yang patut diangkat dan digali lagi yaitu penderitaan korban banjir pasca banjir surut. Itu tidak kalah mengerikan. Anda dapat membayangkan menderitanya hidup tanpa listrik dan tanpa air. Sudah jatuh tertimpa tangga itulah peribahasa yang tepat . Berakhirnya banjir bukan berarti usai sudah penderitaan yang saya alami.
Waktu itu Air PDAM tidak mengalir, begitupun dengan listrik. Untuk keperluan mandi dan buang air saja sulit. Apalai mencuci segala macamnya. Maka mau tidak mau saya harus hunter air. Oleh warga sekitar, Dibobol lah sebuah jaringan pipa PDAM yang masih berfungsi normal di sekitar komplek perumahan pelabuhan (di depan SMK Cikini Jakarta Utara). Ini lah uniknya jakarta, Perumahan elite tidak begitu menderita dibandingkan dengan perumahan kumuh padat penduduk. Masyarakat miskin mungkin sudah muak dengan kondisi dan keadaan waktu itu. Entah itu inisiatif siapa atau memang sudah bocor dari sananya. Jaringan pipa PDAM yang masih mengalir air bersih dan menjadi pusat konsentrasi warga dari pemukiman tempat saya berada. Tujuannya sama yaitu mengisi jerigen, galon atau penampungan lainnya dengan air dari selang yang disambungkan dengan jaringan PDAM yang bocor.
Jadi sekitar dua minggu saat sore hari kerjaan saya hanya mencari air. Gerobak, Jerigen dan botol aqua galon seolah menjadi teman baru saya. Tidak muluk-muluk yang penting bak di kamar mandi terisi air. Kebayang hidup tanpa air itu sulitnya minta ampun.
Beruntung kejadian krisis air tidak berlangsung lama. Sekitar dua minggu kemudian jaringan PDAM di pemukiman saya tinggal sudah kembali normal. Kegiatan di Sekolah juga sudah mulai efektif kembali. Di Sekolah saya di daerah Tipar Cakung sempat menjadi tempat pengungsian warga sekitar. Beruntung semua itu sudah berakhir. Maka ketika tulisan ini saya buat, saya sangat bersyukur telah berada di tempat yang lebih nyaman. Sekarang, jakarta tetaplah jakarta dulu. Dari kejauah seperti oase di tengah gersangnya kemiskinan di Indonesia. Dari kejauhan seolah menyimpan impian dan harapan bagi pencari keberuntungan. Namun tidak dimata pengalaman saya. Jakarta oh jakarta.
Yogyakarta 20 Juni 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H