Pernahkah anda mendengar Kesultanan Gowa-Tallo ? Wilayah kesultanan ini berada di Kabupaten Gowa dan sekitarnya, sering juga disebut Kesultanan Makasar.
Pada abad 16 di Sulawesi Selatan terdapat beberapa kesultanan, diantaranya Gowa, Tallo, Bone, Sopeng, Wajo, dan Sindenreng. Kesultanan Gowa dan Tallo bersekutu di Tahun 1528 dan menjadi Kesultanan Gowa-Tallo atau Kesultanan Makasar. Awal mula masuknya ajaran Islam ke Makassar diperkenalkan oleh Datok Ribandang, ulama dari Sumatra Barat, pada awal abad 16.
Hal ini berdampak Raja Gowa, Daeng Manrabia (1591-1638), memeluk agama Islam dan mengubah namanya menjadi Sultan Alauddiin dan Raja Tallo. Pada masa itu kesultanan Makassar berkembang menadi negara maritimi dan salah satu karyanya dikenal dengan perahu layar lambo dan pinisi.
Baca juga : Hak dan Kewajiban Warga Negara: Pandangan Dalam Nilai-Nilai Islam serta Al Quran
Puncak kejayaan Kesultanan Makassar terjadi pada masa Sultan Muhammad Said (1639-1653) dan Sultan Hasanuddinn (1653-1669) yang dijuluki ayam jantan dari timur.
Pada masa ini Makassar dikenal sebagai daerah perdagangan yang maju dan kekuasaannya meluas ke Flores dan Pulau Solor, Nusa Tenggara termasuk Kesultanan Wajo, Bone, Luwu, dan Sopeng. VOC pada abad 17 merasa terganggu dengan cita-cita Hasanuddin untuk menjadikan Makassar sebagai pusat kegiatan perdagangan Nusantara bagian timur karena hal ini mengganggu dan mengancam lalu lintas perdagangan VOC dari Maluku ke Batavia.
Baca juga : Hak Asasi Manusia dalam UUD dan Al-Quran
Akibatnya terjadilah perang antara VOC dan Kesultanan Gowa-Tallo pada tahun 1666-1669 yang dikenal sebagai perang Makassar. Dangan bantuan Sultan Bone, Aru Palaka, VOC (Belanda) berhasil memaksa Hassanuddin untuk menyepakati Pejanjian Bongaya (1667) yang isinya :
- VOC memperoleh monopoli perdagangan di Makassar,
- Belanda mendirikan Benteng di Makassar,
- Melepaskan daerah jajahannya,
- Mengakui Aru Palaka sebagai Raja Bone.
Setelah Hasanuddin, pimpinan Makasar diberikan kepada putranta, Mapasomba. Mapasomba selalu menetang kehadiran Belanda di Makassar, bahkan melebihi Ayahnya. Pengarahan pasukan besar-besaran oleh Belanda berhasil menghancurkan Mapasomba, sehingga Belanda berkuasa sepenuhnya atas Kesultanan Makassar.
Kehidupan sosial sehari-hari masyarakat, masyarakat diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut Pangadakkang. Masyarakat Makassar juga mengenal lapisan sosial seperti golongan bangsawan dan keluarganya disebut anakarung/karaeng dan rakyat biasa disebut maradeka dan lapisan bawah disebut golongan ata.
Baca juga : Perbandingan Warisan Kesultanan Maritim Gowa-Tallo dan Demak di Indonesia